EKBIS.CO, JAKARTA— Maraknya kasus pelanggaran yang terjadi dalam ekosistem industri fintech Peer to Peer (P2P) lending dinilai semakin merugikan banyak pihak.
Kerugian tersebut tidak hanya menimpa konsumen atau nasabah, tetapi juga bagi industri P2P lending itu sendiri. Hal itu diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (14/10/2023).
Ariawan Rahmat menyoroti beberapa polemik terkait industri P2P lending yang belakangan ini menyita perhatian publik. Salah satunya adalah kasus nasabah yang diberitakan bunuh diri akibat mendapatkan teror oleh penagih utang yang disewa salah satu perusahaan penyedia layanan teknologi finansial (fintech) PT Pembiayaan Digital Indonesia atau AdaKami.
Menurut kabar terakhir, hasil investigasi yang dilakukan AdaKami menyebut, pihaknya belum menemukan identitas korban yang diberitakan melakukan bunuh diri tersebut. Belum reda isu kasus bunuh diri tersebut, kini muncul isu baru temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang menyebut adanya kartel suku bunga pinjol yang melibatkan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).
Berbagai isu yang melanda industri pinjol itu, menurut Ariawan, mengindikasikan kurang seriusnya pemerintah dalam melakukan pengawasan ketat terhadap ekositem industri fintech, baik dari sisi penyedia jasa, pengguna jasa, dan asosiasi terkait.
“Dari sisi penyedia jasa atau perusahan fintech, misalnya, pemerintah terkesan tidak tegas menetapkan aturan tentang suku bunga bagi perusahaan pinjol yang diduga kurang transparan. Belum lagi soal mudahnya para oknum membuat perusahaan pinjol ilegal yang kadang berkedok koperasi,” kata Ariawan.
Sementara dari sisi pengguna jasa atau nasabah, menurut Ariawan, pemerintah terkesan tidak melakukan mitigasi atau melakukan pembiaran terhadap masyarakat yang terjebak utang pinjol.
“Pemerintah sudah tahu jika tingkat literasi fintech masayrakat masih sangat rendah. Masyrakat tahunya, kan, pinjol mudah dan cepat, meskipun bunganya tinggi. Akibatnya gali lubang tutup lubang karena banyaknya pinjol yang bisa kasih pinjaman. Ini diperparah dengan mudahnya mendaftarkan usaha pinjaman online dibuka lebar sehingga kian menyulitkan pengawasannya,” kata Ariawan.
Baca juga: Ini Peperangan yang Dimenangkan Romawi Sebagaimana Dikabarkan Alquran Surat Ar Rum
Hal itu menurut Ariawan juga diperparah dengan diberlakukannya pemungutan pemungutan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pinjol, seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 69 Tahun 2022 yang berlaku mulai 1 Mei 2022 lalu. Melalui PMK tersebut, jasa penyelenggara teknologi finansial wajib memungut PPN sebesar 11 persen atas layanan yang diberikan.
“PPN atas pinjol itu akhirnya hanya akan semakin membebani nasabah karena kan prinsip pengenaan PPN adalah end user. Belum lagi mereka harus menanggung bunga yang cenderung besar,” tutur Ariawan.
Untuk itu, Ariawan mengimbau agar pemerintah lebih tegas bersikap agar polemik ini tidak merugaikan kedua belah pihak. Ariawan menilai, bagaimanapun keberadaan fintech yang legal bermanfaat bagi masyarakat, terutama bagi UMKM yang masih belum bankable karena tidak mempunyai agunan. Artinya, kehadiran P2P lending dapat menjadi alternatif pendanaan bagi UMKM tersebut.