"Semakin signifikan penurunan kinerja ekonomi dan finansial, semakin besar daya tekan boikot terhadap perubahan kebijakan. Pihak yang diboikot akan mengalami tekanan untuk menghentikan dukungannya kepada Israel seiring melemahnya kinerja finansial mereka," ungkap Yusuf.
Keputusan konsumen untuk berpartisipasi dalam gerakan boikot banyak ditentukan biaya yang akan mereka tanggung akibat boikot. Biaya yang ditanggung konsumen ditentukan oleh preferensi mereka terhadap produk yang diboikot dan akses mereka terhadap produk substitusi. Maka salah satu strategi terpenting gerakan boikot terhadap Israel adalah berfokus kepada beberapa target prioritas dimana publik memiliki produk substitusi dengan harga dan kualitas yang sesuai dengan preferensi konsumen.
Karena, logika boikot adalah melakukan tekanan, bukan diplomasi, persuasi atau dialog. Strategi diplomasi untuk mencapai hak-hak bangsa Palestina selama ini terbukti gagal karena Israel menikmati proteksi dan imunitas hegemoni kekuatan dunia. Logika dialog dan persuasi terhadap Israel menunjukkan kebangkrutannya karena tidak ada "efek jera" bagi Israel tentang mengerikannya penjajahan, bahkan penindasan Israel justru makin meningkat. Jadi boikot adalah ekspresi dari pilihan moral konsumen yang sah dan legal.
Ia menambahkan, kasus terbaik boikot adalah boikot terhadap rezim apartheid Afrika Selatan. Sanksi ekonomi dunia terhadap Afrika Selatan mengambil tiga bentuk, yaitu boikot produk ekspor Afrika Selatan, embargo minyak, dan divestasi investasi asing di Afrika Selatan. Boikot dimulai sejak 1973 ketika sejumlah bank asing memperketat kredit dan sejumlah perusahaan menutup aktivitasnya di Afrika Selatan.
Puncaknya pada pertengahan 1980-an, ketika negara-negara utama Eropa, Kanada, Jepang dan Amerika Serikat secara resmi memboikot Afrika Selatan. Pada 1990, rezim apartheid di Afrika Selatan berakhir. Seluruh sanksi ekonomi atas Afrika Selatan dicabut ketika Nelson Mandela terpilih sebagai Presiden pada 1994.