EKBIS.CO, JAKARTA -- Meningkatnya tensi geopolitik global dan risiko fluktuasi nilai tukar bakal menjadi ancaman serius bagi perekonomian di seluruh dunia. Sejumlah ekonom mewanti-wanti potensi terjadinya krisis ekonomi, jika konflik di Timur Tengah semakin meluas dan berudurasi panjang.
Dalam situasi ini Indonesia dinilai akan menjadi negara yang terkena dampak cukup besar, mengingat ketergantungan terhadap impor energi dan fluktuasi dollar Amerika Serikat masih tinggi.
Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan kebijakan yang tidak berdampak luas dan bahkan dapat menjadi ancaman bagi sektor industri lainnya. Ia lalu menunjuk program harga gas murah untuk industri atau dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT).
Kebijakan yang dilahirkan untuk mengantisipasi dampak pandemi Covid-19 pada tahun 2020 dan ditujukan kepada 7 sektor industri ini menurutnya akan semakin memberatkan keuangan negara jika dilanjutkan dalam situasi seperti saat ini.
”Kebijakan subsidi HGBT ini sebenarnya ditujukan untuk masa Covid-19, dimana perekonomian tidak berjalan normal. Kondisi saat ini, perekonomian sudah pulih dari Pandemi Covid-19. Dengan demikian, kami melihat pemerintah perlu menseleksi kembali industri-industri yang memang memiliki manfaat terhadap masyarakat banyak untuk dapat menerima HGBT,” kata Josua Pardede, Senin (22/4/2024).
Ia melanjutkan penerapan HGBT mengurangi potensi penerimaan negara. Di tengah tekanan tambahan belanja subsidi pemerintah akibat naiknya impor BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah, implementasi kebijakan HGBT ini dapat meningkatkan defisit APBN.
”Kami menilai penerapan HGBT ini sebaiknya dikaji kembali, dengan mempertimbangkan kondisi pemulihan di setiap industri, jumlah pemanfaatannya, dan dampaknya terhadap masyarakat luas,” ucap Josua.
Terlebih Indonesia sedang dihadapkan risiko twin deficit seiring menurunnya neraca perdagangan. Sebuah kondisi dimana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat per Februari 2024, surplus neraca perdagangan barang Indonesia turun 1,13 miliar dolar AS secara bulanan menjadi 0,87 miliar dolar AS dibandingkan Januari 2024 sebesar 2,02 miliar dolar AS. Penerimaan negara juga dikhawatirkan cenderung menurun sejalan dengan normalisasi harga-harga komoditas.
Memang, kata Josua, di satu sisi sektor industri meminta supaya program HGBT dilanjutkan sebagai langkah antisipasi meningkatnya tensi geopolitik global akibat serangan Iran ke Israel. Meski begitu, di sisi lain, industri migas juga perlu dipertimbangkan keberlangsungannya sebagaimana industri lainnya.
”Kami menilai tensi geopolitik saat ini lebih bersifat temporer sehingga tidak tepat untuk menjadikannya momentum untuk melanjutkan HGBT. Selain itu, kondisi geopolitik ini pun berpengaruh terhadap seluruh dunia, dengan demikian berbagai industri di dunia lain menghadapi hal yang sama yakni peningkatan biaya energi,” tegasnya.
Pihaknya menilai bahwa mendorong daya saing industri melalui kebijakan HGBT ini kurang tepat. ”Peningkatan daya saing industri harus dapat didorong ke arah yang lebih fundamental, seperti peningkatan teknologi produksi, efisiensi biaya produksi, penurunan biaya berusaha ataupun penurunan biaya logistik sehingga biaya produksi lebih murah,” Josua memaparkan.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati lewat akun instagram pribadinya, @smindrawati mengatakan, bahwa sesuai mandat Peraturan Presiden Nomor 121 tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi, menteri ESDM melakukan evaluasi penetapan harga gas murah setiap tahun atau sewaktu-waktu.
Menurutnya, Kementerian Keuangan bertugas memberi pertimbangan dari sisi penyesuaian penerimaan negara. Sebab, kebijakan HGBT didesain tak hanya agar mampu meningkatkan daya saing korporasi dan menguatkan perekonomian, tetapi juga tetap menjaga kesehatan APBN.
"Kesehatan #APBNKiTa penting untuk terus dijaga agar Indonesia mampu terus melanjutkan agenda pembangunan," katanya.