Pun skema perlindungan lain, seperti pengecualian barang/jasa tidak kena PPN, ada NJOP tidak kena pajak utk PBB, ada batasan omset restoran untuk pajak restoran serta sebagainya.
"Ini untuk menekankan bahwa negara tak semena-mena. Bahkan PTKP kita termasuk yang tertinggi di ASEAN, tarif PPh cenderung turun selama 30 tahun terakhir kecuali untuk kelompok superkaya, UMKM dikenai pajak 0,5 persen dan UMKM beromset tdk melebihi 500 juta tak bayar pajak dll," jelasnya.
Menurut Prastowo, pajak dan utang itu komplementer. Idealnya suatu negara mengandalkan penerimaan pajak. Namun sering tak mencukupi apalagi kebutuhan belanja meningkat seperti waktu Covid. Maka utang ditarik untuk menutup kebutuhan. Utang sendiri, kata ia, netral dan lazim di hampir semua negara. "Isunya pada tata kelola yang baik dan penggunaan utang utk kegiatan produktif."
Maka, jelas Prastowo, melulu melihat utang sebagai beban itu tidak tepat. Karena utang juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan produktif (membangun infrastruktur dasar, penyediaan layanan publik, investasi sektor pendidikan/kesehatan dll). Melalui utang, pemerintah mampu memanfaatkan opportunity karena ekonomi terus tumbuh.
"Harapannya ini konsisten dan makin baik shg kue ekonomi yang membesar menciptakan potensi penerimaan pajak yg meningkat. Kontribusi pajak kita sepanjang masa, sejak lampau, kini, dan mendatang. Maka sistem perpajakan pun dibangun agar semakin adil, transparan. Yang tak mampu dilindungi."