Kamis 03 Oct 2024 18:03 WIB

Deflasi Mirip Kondisi Krisis, Airlangga: Tak Perlu Khawatir

Airlangga menilai perekonomian di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja.

Rep: Eva Rianti/ Red: Ahmad Fikri Noor
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Foto:

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia adalah pertanda serius bagi perekonomian nasional. Faisal menilai kondisi ini tidak normal dan mengindikasikan adanya masalah mendasar dalam perekonomian.

"Deflasi lima bulan berturut-turut itu mengkhawatirkan menurut saya," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Faisal menjelaskan deflasi lima bulan beruntun bukan merupakan hal normal yang terjadi di negara dengan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen. Faisal menyampaikan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen biasanya diikuti oleh inflasi rendah dan inflasi yang disebabkan kemampuan untuk mengendalikan harga-harga.

"Bukan inflasi disebabkan karena kelemahan permintaan, tapi yang terjadi sekarang bukan inflasi yang rendah, justru malah deflasi selama lima bulan berturut-turut dan ini menyerupai kondisi krisis," ucap Faisal.

Faisal menilai pemerintah harus lebih serius mengatasi persoalan deflasi beruntun tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman krisis.

"Ada kemungkinan 2024 ini inflasinya bisa di bawah dua persen seperti masa krisis pandemi 2020-2021, yang inflasinya di kisaran 1,5 persen sampai 1,8 persen sepanjang tahun," lanjut Faisal.

Faisal menyampaikan deflasi sendiri merupakan dampak dari lemahnya tingkat permintaan, tingkat konsumsi yang disebabkan tingkat pertumbuhan pendapatan yang lemah. Bahkan, lanjut Faisal, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan dibandingkan masa sebelum pandemi.

"Sebagian orang, termasuk banyak kelas menengah yang tadinya bekerja sebelum pandemi itu banyak yang belum bisa bekerja, tidak punya pekerjaan, dan ini mempengaruhi dari tingkat belanja mereka," sambung Faisal.

Faisal menyampaikan kelas menengah selama ini menjadi tumpuan perekonomian Indonesia. Faisal mengatakan kelas menengah menjadi kontributor terbesar dalam konsumsi nasional yang menggerakkan perekonomian, industri manufaktur, dan sektor jasa.

"Tapi kalau konsumsi kelas menengahnya lemah, ini yang membuat ekonomi itu jadi susah bergerak dan efeknya juga ke mana-mana, ke sektor-sektor yang lain," ucap Faisal.

photo
Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Untuk mengatasi masalah tersebut, Faisal mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang lebih cepat. Faisal menekankan pentingnya kebijakan fiskal dan insentif di sektor riil untuk mendorong konsumsi masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Perlunya menyikapi secara cepat kondisi ini. Insentif bukan hanya dalam hal pelonggaran moneter, tetapi juga kebijakan insentif di fiskal dan di sektor riil," kata Faisal.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti deflasi lima bulan berturut-turut. Huda menilai kondisi deflasi berbeda dengan deflasi pada masa sebelumnya.

"Saya mencatat, kondisi deflasi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Sedangkan pada 2008-2009, lanjut Huda, deflasi dalam beberapa bulan berturut-turut terjadi akibat faktor krisis global menyebabkan deflasi terjadi beberapa bulan berturut-turut. Sementara pada masa pandemi Covid-19 juga akibat adanya faktor kejadian luar biasa yang menyebabkan permintaan melemah.

"Saat ini, faktor deflasi banyak disebabkan oleh pelemahan daya beli yang disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang tepat," ucap Huda.

Huda melihat kondisi harga komoditas saat ini masih relatif baik meskipun terjadi penurunan. Huda menilai dampak pandemi juga sudah kian mengikis dengan kembali dibukanya perdagangan global.

Huda menilai kebijakan pemerintah menjadi penyebab utama di balik menurunnya daya beli yang berdampak pada deflasi beruntun. Huda menyampaikan kebijakan pemerintahan yang menaikkan harga Pertalite pada 2022 terbukti menggerus daya beli.

"Selain itu, kondisi pelemahan daya beli kelas menengah juga disebabkan faktor pelemahan industri dan investasi yang seret," lanjut Huda.

Pemerintah, menurut Huda, harus pintar membuat kebijakan yang cenderung mempunyai dampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga. Huda menyebut pemerintah harus lebih cermat dalam menelurkan kebijakan yang memiliki implikasi dalam menggenjot konsumsi masyarakat.

"Rencana kenaikan tarif PPN tahun depan bisa dibatalkan. Pembatasan Pertalite harus dilakukan secara matang dengan melihat unsur keadilan bagi penerima subsidi," kata Huda.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement