Ketua Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris, Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Carikam, mengatakan, sebelum adanya SPBUN Solusi, para nelayan di Desa Limbangan membeli solar bersubsidi ke Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN) Desa Dadap, Kecamatan Juntinyuat maupun ke SPBU.
"Di Dadap itu sudah ada 400 orang nelayan, ditambah dari Limbangan 200 orang, makanya kewalahan. Jadi Dadapnya menolak pembelian solar oleh nelayan Limbangan, karena kuota di sana juga terbatas, nelayan jadi berebut. Akhirnya nelayan Limbangan beli solarnya di SPBU," jelas Carikam.
Namun, karena SPBU melayani semua jenis kendaraan maupun nelayan dari desa-desa lainnya, maka antrean di SPBU memang lama. Belum lagi, kuota solar bersubsidi di SPBU juga ada batasannya.
Jika kuota solar bersubsidi di SPBU keburu habis, maka nelayan harus membeli solar kepada pihak ketiga atau tengkulak. Namun, harga solarnya bisa mencapai Rp 9.000 per liter, lebih mahal dari harga solar bersubsidi yang hanya Rp 6.800 per liter. Meski mahal, nelayan tetap harus membelinya karena butuh solar untuk melaut, walau harus berutang kepada tengkulak tersebut.
Melihat kesulitan yang dialami nelayan, Carikam pun mengajukan pembuatan SPBUN Solusi di Desa Limbangan, setelah menerima informasi bahwa pemerintah membuka program tersebut. Program itu diprakarsai oleh Kementerian Koperasi dan UKM bekerja sama dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian BUMN, BPH Migas serta Pertamina.
Dalam program yang digulirkan pada 2022 tersebut, koperasi nelayan dipersilakan untuk mengajukan pembuatan SPBUN Solusi. "Nah waktu itu saya mengajukan pada awal 2023 karena nelayan di Desa Limbangan ini sangat membutuhkannya," kata Carikam.
Menurut Carikam, saat itu ada delapan koperasi di Kabupaten Indramayu yang mengajukan pembuatan SPBUN Solusi. Dalam pengajuan itu, pihaknya melampirkan surat rekomendasi berjenjang dari Dinas Kelautan dan Perikanan (Diskanla) Kabupaten Indramayu, Diskanla Provinsi Jabar dan KKP.
Selain itu, Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris juga melampirkan dokumen resmi berbadan hukum koperasi maupun dokumen terkait lahan yang digunakan untuk pembangunan SPBUN Solusi.
Tak hanya terkait dokumen, syarat yang juga harus dipenuhi di antaranya adalah penyaluran solar bersubsidi di SPBUN itu nantinya harus minimal 5.000 liter per hari. Selain itu, aksesibilitas lokasi SPBUN juga harus bisa dilalui mobil tangki.
Pihak koperasi selaku calon mitra juga wajib mengantongi Nomor Induk Berusaha (NIB), Sertifikat Standar (SS), Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PKPLH), hingga Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR).
Setelah pengajuan dari pihak koperasi, kemudian dilakukan survei oleh pihak Pertamina. Dari hasil survei pihak Pertamina, hanya SPBUN Solusi di Desa Limbangan yang dinyatakan lolos.
Bahkan, SPBUN Solusi Desa Limbangan menjadi satu dari tujuh lokasi percontohan SPBUN Solusi di Indonesia. Ketujuh lokasi itu adalah Aceh Besar (Aceh), Deli Serdang (Sumatera Utara), Indramayu (Jawa Barat), Pekalongan dan Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur) dan Lombok (Nusa Tengara Barat).
SPBUN Solusi 38.45217 Desa Limbangan pun resmi beroperasi pada 29 Agustus 2023. SPBUN yang didirikan di atas lahan seluas 300 meter persegi yang disewa oleh Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris itu melayani 150 nelayan, dengan ukuran kapal rata-rata 2 – 3 GT.
Para nelayan di Desa Limbangan itu biasanya membeli solar bersubsidi di kisaran 20 – 60 liter per hari, tergantung jarak melautnya. Mereka merupakan nelayan harian, yang berangkat dini hari dan kembali tengah hari.
Namun adapula nelayan yang membeli solar diatas 100 liter. Mereka merupakan nelayan babangan. Mereka berada di lautan selama dua hari dan dua malam, dalam sekali melaut. Bahkan bisa lebih lama lagi.
Para nelayan itu sebelumnya telah mengajukan diri sebagai penerima solar bersubsidi. Untuk itu, mereka harus mengurus berbagai perizinannya.
Pertama, nelayan harus punya surat rekomendasi dari UPTD Perikanan setempat, yang alokasinya ditujukan ke SPBUN Solusi Desa Limbangan. Untuk mendapatkan rekomendasi itu, nelayan harus memiliki kartu tanda penduduk (KTP), PAS Kecil (yang berisi nama nelayan, data kapal termasuk ukuran dan mesin penggeraknya), Kartu Kusuka (Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan) atau Kartu Nelayan serta Nomor Izin Berusaha (NIB).
Selain itu, nelayan juga harus menandatangani Surat Pernyataan diatas materai. Dalam surat tersebut, nelayan menyatakan tidak akan menyalahgunakan BBM bersubsidi atau menjual kepada pihak lain. Apabila melanggar, maka mereka akan siap diberikan sanksi sesuai aturan yang berlaku. Mereka juga tidak akan melibatkan pihak SPBUN dan Pertamina.
Seluruh berkas pengajuan rekomendasi dari nelayan itu kemudian didaftarkan oleh pengurus Koperasi Produsen Wana Pantai Tiris ke UPTD Perikanan yang ada di Desa Dadap.
"Nelayan kan tidak mau repot. Jadi kami yang mengurusnya, gratis," tukas Carikam.
Setelah surat rekomendasi dari UPTD Perikanan keluar, pihak koperasi kemudian mendaftarkannya ke Pertamina. Hasilnya, keluarlah barcode, yang berisi semua data nelayan dan kapalnya. Termasuk jumlah kuota solar bersubsidi bagi nelayan tersebut sehingga dapat mencegah penyalahgunaan solar bersubsidi.
Setelah barcode muncul, nelayan harus melakukan swafoto sambil memegang KTP. Barcode tersebut berlaku maksimal tiga bulan dan harus diperpanjang jika habis masa berlakunya.
"Jumlah nelayan di sini sekitar 200 orang. Jadi memang belum semuanya bisa kami layani. Selain itu, banyak juga dari desa lain yang ingin ke sini, tapi belum bisa kami terima karena takut kuotanya nanti tidak cukup," jelas Carikam.
Carikam menyebutkan, SPBUN Solusi Desa Limbangan mendapatkan kuota solar bersubsidi sebanyak 5.000 liter per hari atau 150 KL (kilo liter) per bulan. Solar itu dipasok oleh mobil tangki Pertamina dua kali sehari, siang dan sore hari. Namun jika ada kendala, mobil tangki terkadang baru tiba malam hari.
Pengisian BBM itu harus dilakukan dua kali dalam sehari dan tidak bisa sekaligus. Pasalnya, kapasitas modular yang dimiliki SPBUN tersebut hanya mampu menampung 3.000 liter BBM.
Carikam mengatakan, jika aktivitas melaut nelayan sedang sepi, kuota 5.000 liter per hari memang terkadang masih lebih. Namun jika nelayan sedang ramai melaut, maka kuota 5.000 liter per hari tidak akan cukup. Untuk memenuhi kekurangannya, nelayan terpaksa membeli di SPBU.
Carikam berharap kuota pasokan solar harian bisa lebih fleksibel. Artinya, jika aktivitas melaut sedang ramai, maka kuota bisa ditambah. Begitu pula sebaliknya. Biasanya, nelayan ramai melaut pada periode Maret – Agustus.