Digugat di MK beberapa kali
Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang HPP memunculkan berbagai sikap, termasuk lewat jalur hukum. Advokat Muhtar Said, yang juga dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta mengajukan uji formal UU HPP ke MK. Dalam permohonannya, ia menilai beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sehingga harus diperbaiki maksimal dua tahun sejak MK memutuskannya.
Namun, dikabarkan Muhtar menarik kembali permohonan gugatan tersebut. Hal itu berdasarkan putusan perkara nomor 69/PUU-XXI/2021, yang diputuskan dalam rapat pemusyawaratan hakim yang dihadiri sembilan hakim konstitusi, di antaranya Ketua MK Anwar Usman.
Selepas itu, UU HPP kembali digugat ke MK. Yang mengajukan judicial review adalah Priyanto, Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Ummat. Pihak Priyanto menilai pembentukan UU HPP secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 22A UUD 1945.
Disebutkan bahwa UU HPP adalah suatu UU yang di dalamnya mengubah beberapa ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang lain yang telah digunakan sebelumnya dan memuat beberapa aturan baru. Sehingga UU HPP tersebut menjadi tidak jelas, merupakan suatu perubahan UU atau pembentukan UU baru.
Namun, MK pada akhirnya memutuskan untuk menolak permohonan pengujian materiil UU HPP tersebut. Penolakan perkara tersebut disampaikan melalui sidang pengucapan putusan nomor 19/PUU-XX/2022 pada Kamis, 7 Juli 2022. MK menilai pemohon sama sekali tidak menyampaikan argumentasi tentang pertentangan antara pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dengan UUD 1945 serta tidak menunjukkan argumentasi pertentangan antara pasal-pasal a quo dengan pasal-pasal yang menjadi dasar pengujian dalam UUD 1945.