Respons kian gemuruh
UU HPP pun terus bergulir, hingga waktu demi waktu berlalu. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menerbitkan 14 aturan turunan berupa peraturan menteri keuangan (PMK) untuk mengimplementasikan ketentuan UU HPP. Aturan kenaikan PPN sendiri terus digodok oleh pemerintah, diantaranya mulai dari pembahasan pengenaan PPN untuk barang dan jasa premium, hingga persoalan pemberian insentif.
Seiring dengan pergantian kepemimpinan atas hasil Pilpres 2024, kebijakan mengenai PPN masih menguat dari era Joko Widodo ke Prabowo Subianto dengan mengusung slogan politik ‘keberlanjutan’.
Mendekati pengujung 2024, isu kenaikan PPN menjadi 12 persen terus mencuat di publik. Pemerintah menjadi bulan-bulanan karena kenaikan PPN dinilai tidak tepat karena klaim melemahnya daya beli masyarakat.
Bahkan anggota dewan pun kian bersuara menanggapi respons dari masyarakat yang menolak kebijakan tersebut. Contohnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari Fraksi PDIP Evita Nursanty. Meskipun partainya dulu menyetujui pengesahan UU HPP tiga tahun silam, Evita justru mengkritik kebijakan tersebut. Ia meminta pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan itu, mengingat kondisi ekonomi masyarakat yang dinilai kurang stabil.
Meski kenaikan PPN dari 11 persen menjadi 12 persen merupakan amanat UU, Evita menilai pengkajian ulang masih memungkinkan. Sebab pada Pasal 7 ayat 3 UU HPP disebutkan PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.
“Pemerintah masih bisa punya kewenangan untuk mengubahnya, misalkan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Pemerintah harus bijaksana melihat kondisi ekonomi yang masih sulit bagi masyarakat,” kata Evita, 21 November 2024 lalu.