EKBIS.CO, JAKARTA -- Indonesia selama ini terlena oleh angin buritan sehingga reformasi telat dilakukan. Krisis di Amerika Serikat (AS) pada 2003 menyebabkan Indonesia mendapatkan aliran modal masuk (capital inflow) karena suku bunga yang rendah di AS. Indonesia juga diuntungkan dengan harga komoditas naik. Kini, angin buritan tersebut hilang dan ekonomi Indonesia pun kembali bergejolak.
Pengamat Creco, Raden Pardede, memprediksi Bank Sentral AS, the Federal Reserve (the Fed), akan menghentikan stimulus moneternya pada Desember sebelum masa jabatan Gubernur the Fed, Ben Bernanke, habis. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan paket kebijakan. Raden mengatakan dalam situasi seperti ini, stabilitas harus diutamakan. Jika kestabilan telah tercapai, Indonesia dapat memikirkan pertumbuhan.
"Secara garis pokok sudah ada disitu semua tapi bagaimana implementasinya? Yang dikhawatirkan investor itu implementasinya," ujarnya di Jakarta, Senin (23/9).
Namun, Raden mengatakan Indonesia telah telat melakukan reformasi. "Kita lupa melakukan perbaikan pada saat baik. Harusnya reformasi dari 2004 dan 2005. Kebijakan kita sekarang seakan-akan kita sudah hebat, banyak yang reverse. Infrastruktur tak kita jaga. Ekspor kita bergantung komoditas. Itu yang disebut dutch disease," paparnya.
Komposisi ekspor Indonesia didominasi oleh sektor komoditas. Sektor komoditas sudah tidak bisa dijadikan sebagai motor perekonomian. Raden mengatakan Indonesia harus mendorong ekspor dari sektor manufaktur sehingga menjadi motor perekonomian. Oleh karena itu diperlukan program yang komprehensif. "Dengan investasi digiatkan dalam rangka ekspor maka akan mengurangi defisit transaksi berjalan. Untuk sementara, yang penting mencari funding," ucapnya.
Swap facility dari Bank Of Japan dan Bank of China dianggap penting untuk berjaga-jaga karena hasil dari reformasi tidak akan terlihat dalam jangka pendek. "Short term itu confident harus dilakukan," tambah dia.