EKBIS.CO, JAKARTA -- Isu rencana PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) oleh Pertamina, mendapat respon negatif dari para investor di Bursa Efek Indonesia (BEI). Hal tersebut terlihat dari pergerakan harga saham PGN yang terus menurun setelah isu tersebut muncul ke publik.
Sejak awal pekan ini, harga saham PGN sudah turun hingga lima persen dari Rp 4.925, Senin (18/11) menjadi Rp 4.675 per saham pada Kamis (21/11).
Sejumlah analisis di pasar modal menilai, penurunan saham PGN tersebut terjadi akibat sentimen negatif terkait rencana akusisi perusahaan oleh Pertamina. Selain akan menciptakan ketidakpastian, rencana ini juga sangat tidak produktif bagi PGN yang kini memiliki bisnis dengan pertumbuhan yang baik dan berkelanjutan.
Analis Capital Bridge Haryajid Ramelan menilai sebaiknya jutsru PGN yang mengakuisisi Pertagas--anak usaha Pertamina. Selain akan memperkuat PGN secara korporasi, konsolidasi bisnis gas bumi itu bakal lebih mempercepat pembangunan infrastruktur dan peningkatan pemanfaatan gas bumi di Indonesia.
"Reputasi PGN sebagai perusahaan yang menjunjung tinggi GCG akan ikut terpengaruh jika Pertamina masuk ke PGN. Penurunan harga saham PGN sejak awal pekan ini, menjadi indikasi pasar menolak rencana akusisi Pertamina," ujar Haryajid, Kamis (21/11).
Sebagai salah satu emiten dengan fundamental kuat dan didukung oleh prospek bisnis yang bagus, PGN memiliki sejumlah prasyarat untuk menjadi BUMN gas nasional. Selain telah berpengalaman lebih 40 tahun di bisnis gas, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir PGN mampu membangun infrastruktur gas senilai lebih dari Rp 40 triliun.
Berkat fundamental yang baik, PGN memiliki laverage utang yang sangat besar yaitu mencapai 300 persen daripada modalnya. Dengan kapasitas yang cukup besar untuk mendapatkan modal guna membiayai ekspansi bisnisnya.
"Di antara banyak emiten energi di bursa, PGN merupakan perusahaan dengan kemampuan pendanaan yang sangat kuat. Tapi jika Pertamina masuk, situasinya pasti akan berbeda karena kondisi keuangan Pertamina juga lain. Dampaknya PGN akan mengalami kesulitan membiaya pembangunan infrastruktur gas bumi di Indonesia," jelasnya.
Analis Samuel Sekuritas, Adrianus Bias Prasetyo, menambahkan jika sinergi yang dilakukan antar perusahaan BUMN ini sebaliknya, yakni PGN yang mengakuisisi Pertagas hasilnya akan lebih positif. Dan jika dipilih opsi merger, tentu saja perusahaan yang lebih besar mencaplok perusahaan yang lebih kecil. Secara nilai PGN memiliki aset lebih besar ketimbang Pertagas.
Kondisi berbeda jika PGN dikonsolidasikan ke dalam Pertamina. Karena hal itu akan menghambat bisnis PGN. Pasalnya, kondisi keuangan PGn jauh sehat ketimbang Pertamina. Saat ini, dana cash yang dimiliki PGN lebih besar ketimbang utangnya. Berbeda dengan Pertamina yang justru lebih banyak utang daripada kas. "Misalnya saja kalau PGN mau cari utang baru untuk ekspansi akan jadi lebih sulit sebab nilai bukunya menjadi lebih jelek karena tertular utang Pertamina," ujar Adrianus.
Selain itu, jika PGN di bawah Pertamina, maka PGN akan mengikuti kebijakan Pertamina untuk melakukan open access. Dimana kebijakan tersebut justru merugikan PGN, sebab potensi margin yang diperoleh menjadi lebih kecil. Melihat reaksi negatif investor terhadap rencana akuisisi PGN oleh Pertamina, para analis menyarankan agar pemerintah membatalkan niat tersebut. Disamping tidak menguntungkan secara bisnis, akuisisi ini juga akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang panjang.