Rabu 26 Aug 2015 17:25 WIB

Kelesuan Ekonomi Pukul Pekerja Sektor Maritim

Rep: Qommaria Rostanti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Puluhan truk peti kemas antre di gerbang Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (28/7).
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Puluhan truk peti kemas antre di gerbang Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (28/7).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Kelesuan kondisi perekonomian Indonesia turut memukul sektor maritim, terutama para pekerjanya. Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Maritim Indonesia Moh Jumhur Hidayat mengatakan perlambatan ekonomi bisa mengurangi volume perdagangan hingga 25 persen (ekspor plus impor).

Yang termasuk pekerja maritim adalah mereka yang bekerja di laut termasuk pelaut dan nelayan; di dermaga termasuk pekerja bongkar muat, operator crane, pekerja pergudangan dan juga pekerja administrasi; serta di transportasi ke dan dari dermaga seperti supi-suoir truk peti kemas. "Kegiatan usaha di sektor itu juga terpukul telak," ujarnya kepada ROL, Rabu (26/8).

Penyerapan tenaga pelaut berkurang bahkan hingga tingkat grounded berupa pekerja di dermaga. "Ini karena aktivitas ekspor dan impor berkurang sehingga pekerjaan mereka ikut berkurang," kata dia.

Di bidang transportasi pun juga demikian. Apabila jumlah peti kemas berkurang maka volume kendaraan angkut berkurang dan supir dengan sendirinya berkurang. Untuk mengatasi hal tersebut, tidak ada cara lain selain menumbuhkan kepercayaan investor dengan kejelasan visi pemerintah dan kredibilitas dalam mencapainya.

Situasi global yang terjadi saat ini adalah fakta yang dirasakan semua negara. Tiap pemerintahan tentunya mempunyai antisipasi tepat. Pada 1997-1998 terjadi krisis moneter dunia, respon Indonesia saat itu termasuk yang paling parah sehingga pemerintahan pun kolaps.

"Bila tidak kerja keras, cerdas, kredibel dan kompak, maka tidak mustahil pemerintahan sekarang juga kolaps," ucap Jumhur.

Pemerintah harus mencari ide-ide brilian yang bisa meningkatkan daya beli. Pasalnya terjadinya awal krisis ini lantaran daya beli rakyat yang dikorbankan tempo hari dengan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) secara drastis.

"Dengan rusaknya daya beli itu, maka terganggulah semua kegiatan produksi dan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK)," ujarnya.

Pria yang pernah menjabat sebagai Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) ini menyebut daya beli rakyat ibarat energi utama untuk berjalannya sebuah sistem perekonomian negara.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement