EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengaku pihanya hingga saat ini masih membahas atau mengkaji terkait perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI). Pernyataan itu sekaligus menjawab pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli.
Demikian disampaikan dia dalam surat balasan terhadap PTFI yang diperoleh Republika.co.id, Selasa (13/10). Surat tertanggal 7 Oktober 2015 itu, merupakan balasan atas surat dari PTFI tertanggal 11 September 2015, Nomor: 6665/05/MEM/2015.
Terkait permohonan perpanjangan kontrak PTFI, ia menjelaskan, pihaknya memahami pembahasan mengenai kerja sama dengan PTFI telah dilakukan dan disepakati seluruh aspek dalam Naskah Kesepakatan Kerja Sama yang ditandangani pada 25 Juli 2014.
"Pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan investasi di Indonesia, namun karena perlunya penyesuaian peraturan yang berlaku di Indonesia maka persetujuan perpanjangan kontrak PTFI akan diberikan segera setelah hasil penataan peraturan dan perundangan di bidang mineral dan batu bara diimplementasikan," katanya.
Sebagai konsekuensi atas persetujuan tersebut, Sudirman menambahkan, PTFI berkomitmen untuk menginvestasikan dana sebesar tambahan 18 miliar dolar Amerika untuk kegiatan operasi PTFI selanjutnya.
Ia mengatakan, Pemerintah Indonesia akan menyelesaikan penataan ulang regulasi bidang Mineral dan Batu Bara, agar lebih sesuai dengan semangat menarik investasi bidang sumber daya alam di Indonesia.
PTFI juga dapat segera mengajukan permohonan perpanjangan operasi pertambangan, setelah diimplementasikannya penataan perundang-undangan.
"Lebih lanjut dipahami bahwa persetujuan atas permohonan tersebut nantinya akan memberikan kepastian dalam aspek keuangan dan hukum yang sejalan dengan isi kontrak yang saat ini berlaku," katanya menegaskan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli mengatakan perpanjangan kontrak antara pemerintah dengan PT Freeport tidak layak. Ia menilai PT Freeport terlalu mencari untung tanpa menyeimbangkan hasil produksi dengan dampak limbahnya.
Rizal menganggap bahwa PT Freeport serakah dalam memanfaatkan potensi sumber daya alam di Indonesia. Menurut Rizal, selama menjalani kontrak dengan Pemerintah Indonesia dari tahun 1967 hingga 2014, Freeport hanya membayar royalti sebesar 1 persen. Padahal, idealnya negara lain membayar kewajiban 6 hingga 7 persen.
"Perpanjangan kontrak dengan Freeport tidak layak," kata Rizal di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (12/10).