EKBIS.CO, JAKARTA -- Dengan iklim tropis yang hangat dan garis pantai sepanjang 81.000 km, Indonesia memiliki potensi pertumbuhan yang sangat tinggi di sektor budidaya perairan, khususnya industri udang.
Namun, ada tiga faktor utama yang menghambat potensi laju industri ini di tengah Indonesia menyongsong terbentuknya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember mendatang.
Ipsos, perusahaan riset pasar independen yang berpusat di Hong Kong, mencatat ketiga faktor tersebut adalah rendahnya tingkat penerapan teknologi, pembangunan infrastruktur yang tidak merata di pelbagai sentra tambak udang dan kurangnya integrasi antara pemroses di hilir dan petambak di hulu.
"Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 80 persen dari entitas budidaya perairan di Indonesia masih menjalankan praktik pertanian tradisional atau ekstensif bahkan hingga tahun lalu. Agar tetap kompetitif, budidaya perairan di Indonesia harus mengadopsi peralatan dan teknik produksi yang modern. Namun, mayoritas pelaku budidaya perairan terdiri dari industri rumah tangga yang mungkin tidak memiliki modal dan keterampilan-keterampilan yang memadai untuk memodernisasi teknik pertanian mereka," kata Juanri, Konsultan di Ipsos Consulting Indonesia dalam keterangan resmi yang diterima Republika.co.id Jumat (23/10).
Lebih jauh Juanri menyampaikan bahwa meskipun kolaborasi antara sektor swasta dan pemerintah diperlukan untuk mempercepat modernisasi di sektor budidaya perairan di Indonesia, ketersediaan bantuan keuangan dan teknis untuk para petambak ini masih menjadi pekerjaan yang tidak mudah.
Pembangunan infrastruktur yang tidak merata di daerah menjadi masalah besar berikutnya. "Petambak yang berada jauh dari pusat perdagangan tradisional Jawa Timur harus mengatasi tantangan logistik yang lebih besar untuk mendistribusikan produk mereka. Masalah ini paling jelas terlihat di pulau Sulawesi. Infrastruktur jalan yang buruk dan pelabuhan laut yang tidak memiliki perlengkapan memadai semakin menyulitkan petambak udang dan pemroses di daerah tersebut," kata Country Manager Ipsos Consulting Dony Halim menambahkan.
Keprihatinan terhadap permasalahan kekurangan infrastruktur juga disuarakan oleh Sekretaris Jenderal Shrimp Club Indonesia (SCI), Dr. Ir. Andi Tamsil M.Si yang menyampaikan bahwa bahkan di Jawa Timur sebagai daerah paling produktif penghasil udang masih mengalami kesulitan pasokan listrik.
Bagi petambak udang disana, pasokan listrik yang bermasalah dari PLN membuat mereka harus mengeluarkan biaya lebih banyak bila harus menggunakan genset. Permasalahan ini tentu saja berdampak buruk pada produksi udang. Bila pemerintah ingin meraih target pertumbuhan tinggi produksi udang, maka infrastruktur harus dibenahi dengan serius.
Lebih jauh Domy kembali menjelaskan bahwa Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam. Bahkan dengan mengesampingkan infrastruktur logistik, Indonesia sudah kalah dalam faktor geografis.
Tidak seperti Indonesia yang memiliki pusat budidaya udang yang tersebar di berbagai provinsi yang dipisahkan oleh laut, pusat budidaya udang utama Thailand dan Vietnam, di wilayah Tenggara dan Mekong River Delta berada di provinsi yang bersebelahan yang dapat diakses melalui jalur darat. Fakta ini memungkinkan logistik yang lebih efisien dan meyumbang produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.
Masalah besar berikutnya adalah kurangnya integrasi antar pelaku dalam rantai nilai yang mengakibatkan inefisiensi produksi di industri udang dalam negeri.
"Penanam benih, pembudidaya dan pemroses bertindak sendiri-sendiri dan menyulitkan koordinasi produksi untuk memenuhi permintaan pasar," tambah Juanri.
Hubungan antara pemroses, tengkulak, dan petambak adalah murni transaksional sehingga kurang kerjasama. Inefisiensi telah mendorong beberapa perusahaan besar seperti PT Central Proteina Prima dan PT Suri Tani Pemuka untuk mengintegrasikan secara vertikal pengoperasiannya di mana mereka dapat mengontrol dan mengarahkan keseluruhan siklus produksi pada permintaan pasar. Untuk lebih menggali potensi industri udang Indonesia ini, diperlukan kerjasama dan koordinasi yang lebih baik di sepanjang rantai nilai untuk mengurangi inefisiensi tersebut.