Sejak awal Jokowi-Jusuf Kalla (JK) memerintah, kinerja perekonomian nasional terlihat terseok-seok. Kendati sudah ada tujuh paket kebijakan yang diluncurkan pemerintah, namun dampaknya terhadap sektor perekonomian nasional belum banyak terasa. Hal ini terlihat dari sejumlah indikator utama ekonomi, seperti produk domestik bruto (PDB), nilai tukar rupiah, laju inflasi, neraca perdagangan, cadanga devisa, utang luar negeri, kemiskinan absolut, dan angka pengangguran.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, angka pertumbuhan ekonomi nasional atau PDB pada kuartal III 2015 sebesar 4,73 persen. Pencapaian ini meningkat jika dibandingkan dengan kuartal II yang hanya sebesar 4,67 persen dan pencapaian pada kuartal I yang sebesar 4,71 persen.
Sementara laju inflasi sepanjang tahun 2015 berjalan menunjukkan kondisi memburuk, dimana terjadi peningkatan inflasi. Tercatat laju deflasi terjadi empat kali kali sepanjang tahun ini, yakni pada bulan Januari sebesar 0,24 persen, Februari (0,36 persen), September (0,05), dan Oktober (0,08).
Memasuki Maret hingga Agustus terjadi inflasi. Pergerakan inflasi dari Maret ke Agustus tercatat terus mengalami kenaikan dari 0,17 menjadi 0,93 persen. Sedangkan pada November tercatat kembali terjadi inflasi sebesar 0,21 persen.
Belum terasanya dampak paket kebijakan ekonomi yang sudah diluncurkan pemerintah juga dirasakan di sektor tenaga kerja. Pada awal November lalu, BPS menyampaikan tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2015 mencapai 7,56 juta orang atau bertambah 320 ribu orang terhadap Agustus 2014. Jika dibandingkan dengan Februari 2015, jumlah penganggur bertambah 110 ribu orang.
BPS juga mencatat, angkatan kerja pada Agustus 2015 sebanyak 122,4 juta orang, berkurang 5,9 juta orang dibanding Februari 2015. Namun, bertambah 510 ribu orang dibanding Agustus 2014. Sedangkan penduduk bekerja sebanyak 114,8 juta orang. Jumlah ini berkurang 6 juta orang dibanding Februari 2014 tapi bertambah 190 ribu orang dibanding Agustus 2014.
Tak hanya soal tingginya angka pengangguran, kinerja Pemerintahan Jokowi-JK juga disorot karena jumlah utang pemerintah yang terus meningkat. Dalam satu bulan terakhir, utang pemerintah naik Rp 53,5 triliun.
Berdasarkan data di Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, per Oktober 2015 utang pemerintah tercatat Rp 3.021,30 triliun. Per November 2015, utang pemerintah meningkat menjadi Rp 3.074,82 triliun.
Dan, pada tahun depan pemerintah sudah merancang utang dalam RAPBN 2016 sebesar Rp 605 triliun. Sumber utang di 2016 akan didapat dari penerbitan surat berharga (SBN) Rp 532,4 triliun, pinjaman luar negeri Rp 69,2 triliun, serta penarikan pinjaman dalam negeri Rp 3,7 triliun.
Tak hanya persoalan menambah utang. Tahun 2016 juga akan menjadi tahun pembuktian bagi Pemerintahan Jokowi-JK, terutama pembuktian pertumbuhan ekonomi, yang saat ini masih lesu.
Kalangan dunia usaha berpendapat Pemerintahan Jokowi-JK perlu menunjukkan bukti, atas semua janji. Bahwa 2016 merupakan momentum untuk merealisasikan seluruh janji kepada rakyat. Terlebih lagi, menurut mereka, paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan pemerintah sudah cukup bagus dalam mengantisipasi gejolak ekonomi yang lebih parah terhadap Indonesia.