Selain itu, pihaknya juga meminta pelonggaran aturan KPR Inden. Untuk KPR Inden, kata Ali, sebaiknya jangan sampai 100 persen jadi, mungkin 70-80 persen. Hal ini karena cashflow pengembang perumahan. Apabila pengembang harus membangun rumah dulu, kemudian bank belum bisa mencairkan uangnya itu akan mengganggu cashflow pengembang.
Ali menyebutkan, di satu sisi pada PBI 2015 itu ada tambahan jaminan. Jadi konsumen menengah ke bawah harus menambah jaminan lagi kalau mau inden KPR. Hal itu yang memberatkan juga sehingga ia meminta aturan tersebut juga dihilangkan. "Nggak perlu tambah jaminan lagi karena jaminannya udah pasti. Nggak bakalan hilang atau lari," imbuhnya.
Menurutnya ini merupakan masalah risk management bank. Ia menilai jika jaminan untuk Bank memang boleh, namun agak berbeda kalau bicara perumahan yang merupakan tanah. Berbeda dengan kendaraan bermotor yang butuh jaminan karena ada kemungkinan dibawa kabur. "Kalau tanah kan ngga bisa kabur. Kalau gagal bayar pun bank bisa jual lagi, aman," imbuhnya.
Untuk itu ia menilai positif respon BI untuk mengkaji ulang aturan ini. Apalagi saat ini butuh relaksasi kebijakan karena pasar menengah atas dan menengah ke bawah sedang lemah. Apabila nanti sewaktu-waktu pasar sudah bagus, kata Ali, peraturannya kembali diperketat pun tidak ada masalah.
Namun, wacana untuk menghilangkan KPR Inden dinilainya membuat pasar perumahan drop.
"Saya nggak tahu ya nanti bagaimana. Mungkin KPR inden dihilangkan atau gak musti jadi dulu atau bagaimana. Tapi intinya butuh relaksasi ke arah lebih baik," katanya.