Menunggu Mandat
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, BBM Satu Harga ini merupakan bagian dari kontribusi Pertamina yang mendapatkan mandat dari pemerintah untuk mendistribuskan BBM di seluruh wilayah Indonesia. Saat ini misalnya, harga BBM untuk 8 Kabupaten di Papua sudah sesuai dengan KEPMEN ESDM No 7174 Tahun 2016, berlaku mulai 1 Oktober, untuk setiap liternya. Sedangkan harga minyak tanah dipatok Rp 2.500, minyak solar Rp 5.150, dan premium Rp 6.450. Pemerintah saat ini sebetulnya juga masih mengkaji penerapan kebijakan ini.
Direktur Jendral (Dirjen) Minyak dan Gas Kementerian ESDM I Gusti Nyoman Wiratmaja mengatakan, saat ini pemerintah sedang menghitung formulasi margin biaya distribusi untuk mengatasi disparitas harga bahan bakar minyak (BBM). Wiratmaja menyampaikan, formulasi ini akan ditetapkan berbeda-beda bergantung daerah masing-masing. Ia mengambil contoh, margin yang akan ditetapkan di daerah terpencil akan berbeda dengan di Jakarta dan Surabaya.
Kementerian ESDM bersama PT Pertamina (Persero) sudah mengantongi beberapa alternatif solusi untuk mengatasi biaya distribusi yang besar dalam memasok BBM ke daerah terpencil. Rencananya, pekan depan Kementerian ESDM bersama Pertamina akan melaporkan formula distribusi BBM kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan.
Guna menjaga ketersediaan dan kestabilan harga BBM, Wiratmaja mengatakan, akan memasukkannya ke dalam usulan Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Dia mengatakan, Kementerian ESDM akan menyediakan tangki penyimpanan BBM. Langkah lain yang juga disiapkan Pertamina yakni dengan menyediakan tangki penyimpanan untuk menampung BBM di daerah yang susah diakses oleh transportasi. Nantinya, ketika ada badai pasang, longsor atau adanya kesulitan menembus medan, maka ketersediaan BBM di daerah terpencil tetap bisa terpasok.
VP Coorporate Communication PT Pertamina (Persero) Wianda Pusponegoro menambahkan, agar Pertamina bisa memasok dan mendistribusikan BBM ke daerah terpencil perlu ada sokongan dari pemerintah. Dia mengatakan, dukungan pemerintah bisa dilakukan dengan mendukung segala upaya bisnis Pertamina dalam ekspansi bisnis. Wianda menjelaskan, Pertamina harus mengeluarkan dana sebanyak Rp 800 miliar per tahun untuk menutup biaya distribusi BBM ke daerah terpencil. Ia mengatakan, dana sebesar itu tak akan bisa tercapai jika usaha bisnis Pertamina tersendat.
Wianda mengatakan, Pertamina untuk sementara waktu memasok biaya distribusi BBM lewat keuntungan dan fomula yang dibuat oleh perseroan. Namun, hal ini tak bisa dilakukan sepanjang waktu karena biaya distribusi akan membuat harga BBM menjadi tak setara dan cost yang harus dikeluarkan Pertamina membengkak.
Menurut Wianda, beberapa solusi sudah dilakukan Pertamina untuk bisa menghemat dan memotong alur distribusi. Pertama, Pertamina mendirikan agen BBM khusus premium. Kedua, Pertamina menyediakan pesawat khusus AT 802 yang khusus untuk mengantarkan BBM ke daerah terpencil, selanjutnya Pertamina akan menampak sekitar empat pesawat lagi. Ketiga, Pertamina sedang gencar membangun APMS untuk menjadi terminal BBM terdekat bagi masyarakat pedalaman.
Wianda menjelaskan, ada tiga poin utama yang menyebabkan harga distribusi lebih tinggi. Pertama, di daerah masih belum ada penyalur resmi Pertamina sehingga pasokan yang ada ditampung oleh penyalur penyalur yang memang bermitra dengan Pertamina, hal ini menyebabkan ada biaya tambahan dan pengambilan keuntungan dari penyalur tersebut.
Kedua, faktor geografis menentukan berapa biaya distribusi yang harus Pertamina keluarkan. Beberapa kabupaten di Papua dan Kalimantan hanya bisa dijangkau oleh pesawat. Hal ini menyababkan adanya biaya tambahan untuk pesawat. Sementara hambatan ketiga adalah infrastruktur BBM yang belum semua memadai.