EKBIS.CO, Diasuh Oleh: Dr Oni Sahroni, Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Pertanyaan:
Assalamualaikum wr wb.
Bagaimana hukum menjual barang dengan sistem pre-order (PO)? Karena sistem PO itu menjual dengan sampel di status dan akun media sosial penjual. Bagaimana tuntunan Islam terkait PO ini? Terima kasih.
(Aminah, Bogor)
Jawaban:
Waalaikumussalam wr wb.
Penjualan dengan sistem PO diperbolehkan dalam Islam dengan catatan memenuhi rukun dan syaratnya. Di antaranya, PO untuk produk yang halal dan jelas, disepakati baik sebagai penjual dalam akad salam atau sebagai penjual jasa membelikan barang pesanan. Kesimpulan hukum tersebut berdasarkan telaah terhadap substansi dan praktik PO, kaidah muamalah, serta fatwa DSN MUI terkait.
Jika ditelaah dari beberapa referensi, PO adalah sistem pembelian barang dengan memesan dan membayar terlebih dahulu di awal dengan masa tenggang waktu tunggu (estimasi) kedatangan barang. Dari gambaran itu, bisa disimpulkan ada tiga karakteristik PO, yakni adanya pesanan dari pembeli, barang dan jasa yang akan dibeli tidak ready stock karena harus dibeli atau dibuat dahulu, serta harga atau uang ditransfer terlebih dahulu.
Dari aspek fikih muamalah, model bisnis PO ini diperkenankan menurut syariah jika memenuhi rukun dan syarat. Pertama, barang atau jasa yang diperjualbelikan itu halal. Karena itu, produk yang merusak akhlak dan barang najis tidak boleh diperjualbelikan. Produk PO juga harus jelas kriteria dan spesifikasinya. Jika produk PO tidak jelas kriteria dan spesifikasinya, tidak diperkenankan karena termasuk garar.
Kedua, di antara akad bagi penjual dalam PO adalah sebagai agen yang mendapatkan fee dari calon pembeli atau penjual lain.
Akad dalam transaksi ini adalah akad ijarah. Maka, berlaku seluruh ketentuan akad ijarah, di antaranya, fee harus ditentukan di awal berupa nominal atau nisbah, sebagaimana hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
Atau, bisa pula sebagai penjual dalam akad jual beli. Penjual PO sebagai penjual dalam akad salam. Dalam akad salam, penjual menerima harga beli terlebih dahulu dari pembeli. Setelah itu, penjual membeli barang yang dipesan kepada supplier dan mengirim atau menyerahkan barang pesanan kepada pembeli.
Akad salam ini diperbolehkan sesuai dengan hadis riwayat Bukhari dari Ibn 'Abbas, Rasulullah SAW bersabda, "Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas untuk jangka waktu yang diketahui."
Sesuai Fatwa DSN MUI No 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Salam menjelaskan ketentuan akad salam berikut. Bahwa, alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, maupun manfaat; pembayaran harus dilakukan pada saat kontrak disepakati; waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.
Diperbolehkan melakukan salam paralel dengan syarat akad kedua terpisah dari dan tidak berkaitan dengan akad pertama, penyerahan barang sebelum atau pada waktunya, penjual harus menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga. Tapi, jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah dan pembeli rela menerimanya, ia tidak boleh menuntut diskon.
Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tambahan harga. Jika semua atau sebagian barang tidak tersedia pada waktu
penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya, ia memiliki dua pilihan; membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya atau menunggu sampai barang tersedia. Wallahu a'lam.