Jumat 02 Nov 2018 19:08 WIB

KTNA: Data Beras BPS Perlu Dilengkapi

Kementan menyambut baik upaya memperbaiki akurasi data luas panen dan produksi.

Red: Budi Raharjo
 Petani menjemur gabah di pantai Pamayangsari, Kabupaten Tasikmalaya. Jawa Barat. (Republika/Edi Yusuf)
Foto: Republika/ Edi Yusuf
Petani menjemur gabah di pantai Pamayangsari, Kabupaten Tasikmalaya. Jawa Barat. (Republika/Edi Yusuf)

EKBIS.CO, JAKARTA -- Data produksi beras Badan Pusat Statistik (BPS) dengan metode baru Kerangka Sampling Area (KSA) masih menyisakan polemik. Ketua Umum Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menyatakan dapat menerima data pangan BPS itu dengan catatan.

"Rilis data yang disampaikan pemerintah mengenai luas lahan, luas panen dan lain-lain, okelah kita terima semuanya, memang BPS kan dilindungi Undang Undang dibiayai negara. Tapi BPS hanya merilis data tahun 2018 surplus 2,85 juta ton beras. Untuk 2017 kan nggak dirilis berapa surplusnya, 2016 juga nggak,” ujar Winarno.

Winarno memberi catatan. Karena menggunakan teknologi pencitraan, metode KSA BPS tidak bisa menjangkau stok beras yang ada di dalam rumah milik keluarga petani maupun masyarakat lainnya.

Sementara, Winarno mengatakan Sucofindo pernah melakukan survei mengenai stok beras pada 2017. Hasil survei menyebutkan ada stok beras sebanyak 5,6 juta ton di 15 juta kepala keluarga petani. Ditambah dengan yang ada di masyarakat totalnya menjadi 8,1 juta ton.

Berdasarkan data di atas, Winarno menyatakan, ada potensi 8,1 juta ton beras di masyarakat. Data itu tidak ada dalam rilis BPS. Karena itu, Winarno menegaskan KTNA juga menggunakan hasil survei Sucofindo untuk menyempurnakan data BPS.

“Sebetulnya kalau rilis BPS surplus 2,85 juta ton beras tahun 2018, ditambah dengan stok yang ada di masyarakat 8,1 juta ton hasil survei Sucofindo, itu baru benar," kata pria kelahiran Indramayu, Jawa Barat ini.

Ia memperkirakan data BPS dengan metode KSA dengan metode yang lama tidak akan jauh berbeda. Data itu tidak bisa berdiri sendiri di tahun 2018 saja. "Kita ambil 2017 saja yang ada datanya dari Sucofindo. Datanya ada, bisa ditampilkan tidak ngarang, tidak mengada-ada”, ujar dia menegaskan.

Backcasting data

Mengenai penyesuaian data, Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementan I Ketut Kariyasa menyampaikan bahwa BPS perlu segera melakukan backcasting data, baik untuk data luas panen maupun produksi padi. BPS perlu melakukan peramalan mundur dengan menggunakan hasil dari metode KSA tahun 2018 sebagai basis peramalan pada tahun-tahun sebelumnya.

Menurut Kariyasa, hal ini penting dilakukan agar semua data yang ada dari dulu sampai sekarang, sudah dihitung menggunakan metode atau pendekatan yang sama. Cara ini diperlukan agar data-data itu bisa digunakan dengan baik untuk keperluan analisis selanjutnya.

Ia mencontohkan, untuk melihat kinerja perkembangan dan analisis produksi padi dari tahun ke tahun, tanpa melakukan backcasting data terlebih dulu akan tidak relevan dilakukan. Karena hasil analisisnya akan tidak tepat menggambarkan kondisi yang riil di lapangan.

Dan kalau hasil analisis ini digunakan, maka dapat membuat kebijakan dan program pembangunan pertanian menjadi tidak tepat. "Orang akan bertanya-tanya ada apa pada 2018, sehingga luas panen dan produksi jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya," ujar Kariyasa.

"Padahal tidak ada apa-apa, hal itu semata-mata disebabkan oleh karena adanya perbedaan pendekatan yang digunakan dalam perhitungan luas panen dan produksi padi atau beras, yaitu sebelum tahun 2018 menggunakan metode lama, dan pada tahun 2018 menggunakan metode KSA,” kata dia menambahkan.  

Hal lain yang perlu diperhatikan, Kariyasa mengemukakan, mengenai informasi yang sudah dipublikasikan. Sebagai contoh, 6 bulan yang lalu dalam Rice Market Monitor (Volume XXI ISSUE No.1, April 2018) FAO mengestimasi produksi padi di Indonesia pada 2017 sekitar 73,9 ton GKG dan pada 2018 mencapai 74,5 juta ton GKG. Sementara hasil perhitungan metode KSA BPS, produksi padi Indonesia 2018 hanya 56,54 juta ton GKG.

“Apakah FAO akan melakukan koreksi terhadap data tersebut?" kata Kariyasa bertanya. "Kalaupun FAO melakukannya, tanpa tersedianya data-data yang terkoreksi (di- backcasting) tahun-tahun sebelumya, hal itu akan menghasilkan analisis yang menyesatkan, karena otomatis data produksi padi 2018 akan lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya.

Kendati demikian, Kariyasa mengatakan, Kementan menyambut baik upaya memperbaiki akurasi data luas panen dan produksi. Sambil berharap hasil dari metode KSA dapat memberikan informasi yang lebih akurat dari metode sebelumnya yang selama ini digunakan BPS.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement