Jumat 28 Dec 2018 06:42 WIB

Semua Gara-Gara Trump

Kinerja ekonomi tidak dapat membendung sentimen negatif dari perekonomian global.

Rep: ahmad fikri noor/adinda pryanka/iit septyaningsih/lida puspaningtyas/idealisa masyrafina/antara/ Red: Friska Yolanda
Perang dagang AS dengan Cina
Foto:
Ilustrasi Rupiah Melemah

Rupiah melemah

Berdasarkan kurs referensi Jisdor Bank Indonesia (BI), rupiah di awal tahun dibuka sebesar Rp 13.542 per dolar AS. Namun, fluktuasi ekonomi dunia telah mendorong rupiah ke zona merah. Pada saat Trump mengumumkan tarif impor terhadap produk Cina, rupiah berada di level Rp 13.746 per dolar AS.

Saat pengumuman kenaikan suku bunga acuan BI pertama kali tahun ini pada 17 Mei 2018, rupiah berada di level Rp 14.074. Nilainya terus melemah hingga puncaknya menembus Rp 15 ribu pada 3 Oktober 2018. Pada saat itu, banyak yang menyamakan kondisinya dengan masa reformasi dulu saat rupiah pernah mencapai Rp 15 ribu per dolar AS. Namun, tak sedikit pula yang menampik hal itu. 

Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM), Tony Prasetiantono mengatakan, kondisi itu banyak membuat masyarakat khawatir terjadinya krisis. Tapi, ia berharap kondisi itu bisa dilihat seksama. 

Dulu angka Rp 15 ribu pada 1998 terjadi pada 15 Januari 1998. Angka itu mengalami loncatan sangat jauh dari Oktober 1997 yang nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hanya berada di angka Rp 2.300. Sedangkan, lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat ini, terjadi dengan loncatan yang tidak terlalu jauh. Pasalnya, angka hampir Rp 15 ribu pada September itu naik dari sekitar Rp 13.500 pada awal tahun.

Setelah intervensi sana-sini oleh pemerintah, terutama dari BI, rupiah akhirnya perlahan kembali menunjukkan keperkasaannya. Rupiah meninggalkan level Rp 15 ribu dan berfluktuasi di level Rp 14.400 hingga Rp 14.600 per dolar AS.

 

Ekonomi melambat

Perang dagang disebut-sebut menjadi peluang bagi Indonesia untuk masuk ke pasar ekspor yang lebih besar. Indonesia diimbau dapat memanfaatkan perang antara AS-Cina ini untuk mengisi kekosongan impor kedua negara.

Namun, implementasinya tidak semudah itu, Ferguso. Harus ada perjanjian dagang, ketersediaan barang, dan produk-produk yang sesuai standar negara tujuan ekspor.

Pada kuartal II 2018, perekonomian nasional tumbuh 5,27 persen. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan dengan kuartal I 2018 yang hanya 5,06 persen.

Tingginya pertumbuhan ekonomi ini linier dengan meningkatnya neraca transaksi berjalan. BI mencatat, defisit neraca transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) mencapai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara 8 miliar dolar AS. Hal ini disebabkan oleh tingginya belanja domestik.

Namun, pertumbuhan ekonomi pada kuartal III mengalami perlambatan. Ekonomi nasional hanya tumbuh 5,17 persen. Sementara itu, CAD mengalami peningkatan menjadi 3,37 persen atau 8,8 miliar dolar AS terhadap PDB. Secara kumulatif, CAD hingga kuartal III sudah mencapai 2,83 persen terhadap PDB. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui CAD hingga akhir tahun akan di kisaran tiga persen. Hal ini dinilainya tidak perlu dikhawatirkan karena Indonesia pernah mengalami defisit transaksi berjalan lebih dari tiga persen pada 2014.

Baca juga, Ketika Rupiah Mendekati Batas Psikologis Rp 15 Ribu

Ini juga diamini Gubernur BI Perry Warjiyo. Proyeksi CAD di atas tiga persen tidak lepas dari neraca perdagangan yang mengalami defisit. Namun, ia memastikan defisit transaksi berjalan ini masih wajar untuk ukuran negara seperti Indonesia.

"CAD yang sekarang  ini, dalam kondisi Indonesia, masih baik untuk indoneisa. Apalagi kompoisisi impornya adalah produktif," jelasnya.

Hingga November 2018, komposisi neraca perdagangan nasional masih defisit. Tercatat, Indonesia hanya mengalami tiga kali surplus, yaitu pada Maret (1,09 miliar dolar AS), Juni (1,74 miliar dolar AS), dan September (0,23 miliar dolar AS). Sisanya, neraca perdagangan mengalami defisit. Defisit terbesar terjadi pada November, yaitu 2,05 miliar dolar AS dan Juli sebesar 2,03 miliar dolar AS.

Tak sedikit upaya pemerintah dalam menekan defisit transaksi perdagangan. Berbagai kebijakan dan kemudahan ekspor dilakukan untuk mengurangi gap defisit seperti penerapan pajak impor barang merah melalui PPh 21, memberikan tax holiday ke sejumlah industri dan membuka investasi seluas-luasnya. Akan tetapi, upaya ini nampaknya tak dapat membendung gejolak eksternal yang membuat kapal perdagangan terombang-ambing di tengah ketidakpastian. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement