EKBIS.CO, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih menilai, kebijakan kenaikan tarif cukai rokok yang masih menerapkan golongan tarif untuk tiap jenis rokok perlu disederhanakan. Sebab, sistem tarif yang berbeda-beda akan menjadi celah bagi industri rokok untuk menghindari kewajiban cukai sesuai golongannya.
Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau yang akan berlaku mulai Januari 2020. Beleid itu menaikkan rata-rata tarif cukai rokok sebesar 23 persen untuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek tangan (SKT).
Dari tarif cukai tiga jenis rokok itu, terdapat 10 golongan tarif sesuai kapasitas produksi industri. Produsen rokok SKM yang memproduksi lebih dari 3 miliar batang per tahun dimasukkan ke golongan I dengan tarif cukai sebesar Rp 740 per batang.
Sementara, industri yang memproduksi rokok di bawah 3 miliar batang per tahun dibedakan menjadi dua, yakni II A dan II B dengan kewajiban tarif cukai yang lebih murah, masing-masing Rp 470 per batang dan Rp 455 per batang.
Pada rokok SPM, perusahaan yang memproduksi 3 miliar batang per tahun juga masuk golongan I dengan tarif cukai Rp 790 per batang. Industri yang kapasitasnya di bawah 3 miliar juga dibagi menjadi II A dan II B dengan tarif cukai masing-masing Rp 485 per batang dan Rp 470 per batang.
Adapun untuk rokok SKT, industri yang kapasitas produksinya lebih dari 2 miliar batang per tahun dikenakan cukai Rp 425 per batang. Industri dengan kapasitas antara 500 juta - 2 miliar batang cukainya sebesar Rp 330 per batang.
Selanjutnya, produsen SKT dengan kapasitas produksi 10 juta - 500 juta batang terkena cukai Rp 200 per batang. Terakhir, produsen yang hanya memproduksi rokok kurang dari 10 juta per tahun dikenakan tarif cukai Rp 110 per batang.
Guntur mengatakan, tarif yang amat beragam itu berpotensi memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk mencari cara agar produksi tahunan tidak mencapai angka sesuai golongan I. Dengan kata lain, upaya itu dilakukan agar perusahaan hanya membayar tarif cukai golongan II.
"Dia akan mencari cara untuk turun golongan karena besaran cukainya sangat berbeda dan besar sekali rentangnya," kata Guntur di Jakarta, Rabu (23/10).
Secara aturan, Guntur berpendapat, strategi bisnis itu tidak salah. Namun, daya saing antar perusahaan besar dan kecil akan menjadi tidak proporsional. KPPU bertugas untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat dan setara antar pemain industri sehingga kebijakan tersebut patut menjadi sorotan. Kebijakan tarif cukai dengan 10 golongan tarif itu sudah diterapkan sejak lama.
Guntur mengatakan, tahun-tahun sebelumnya, KPPU memang belum pernah menemukan praktik perusahaan yang berupaya agar bisa dikenakan cukai golongan II. Hanya saja, itu tetap berpotensi mengingat tarif cukai 2020 kembali naik.
Guntur mengaku akan membawa persoalan tarif cukai dalam Rapat Komisioner KPPU. "Ini akan saya bawa ke rapat komisioner. Tentu kita ada proses pengkajian dahulu dan meminta pendapat dari masing-masing pembuat kebijakan. Kita akan diskusi secara internal," kata Guntur.