Apa yang menimpa Jack Ma itu tak pelak mengusik sistem swasta yang unik di China. Namun media massa dan sistem informasi yang dikendalikan ketat membuat suara sumbang tertutup rapat-rapat.
Sejak Deng Xiaoping meluncurkan era 'reformasi dan keterbukaan' 40 tahun silam, Partai Komunis China kian tergantung kepada perusahaan-perusahaan swasta dalam hal pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja dan pemasukan pajak. Namun sejak Xi Jinping berkuasa, kontrol pemerintah terhadap swasta semakin besar sampai tak jarang memicu penumpasan terhadap aktor-aktor swasta yang dianggap sudah kebablasan. Jack Ma sendiri bukan yang pertama.
Sepertinya ada semacam konsensus di China bahwa silakan mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin, tetapi begitu keluar dari garis partai, maka semua keistimewaan itu hilang. Ini pula yang menimpa Jack Ma yang sebelum menghilang, selalu mendapatkan sanjungan dari otoritas bahkan dianggap role model.
Namun sejumlah media massa Barat seperti CNN menyebut Jack Ma terlalu besar untuk didiamkan. Saat ini saja ada 700 juga pengguna aktif layanan bisnis Alibaba, termasuk fintech-nya.
Kalaupun terbungkamkan, mungkin Jack Ma-Jack Ma lain bisa bermunculan di masa mendatang sebagaimana juga Jack Ma yang bukan orang pertama di China yang dibungkam otoritas. Pengusaha dan investor Guo Guangchang dan mantan taipan real estate Ren Zhiqiang adalah dua dari sekian tokoh terkenal China lainnya sebelum Jack Ma yang pernah mendadak hilang namun kemudian muncul kembali.
Di atas itu semua, insiden Jack Ma kian menebalkan kesan kapitalisme dan liberalisme yang berpijak pasar bebas memang tengah berlaku di China, walaupun baru pada matra ekonomi, sekalipun sejumlah pakar seperti Amy Chua dalam bukunya “World on Fire” terbitan 2004 menilai China sebenarnya sudah melakukan semacam reformasi politik dengan memberlakukan pemilu semi terbuka pada tingkat desa.