Oleh : Muhammad Iman Sastra Mihajat, mantan Head of Sharia Oman Arab Bank
BMI dan Bank Digital
Sebelumnya ramainya pembahasan bank digital, kita sudah sering juga mendengar kata branchless banking atau financial inclusion. Tujuan dari itu semua sebenarnya berujung pada bagaimana seluruh lapisan masyarakat ini bisa menikmati layanan perbankan tanpa harus ribet dengan urusan antri di cabang dan harus datang ke kantor cabang yang notabene melelahkan dan buang-buang waktu.
Hal ini sejalan dengan ramalan Bill Gate pada 1994 yang mengatakan “Banking is necessary, but banks are not.” Artinya semua masyarakat sangat membutuhkan transaksi layanan perbankan, akan tetapi masyarakat tidak memerlukan banknya secara fisik. Maka dari itu, bank digital adalah jawaban dari kebutuhan sebagian masyarakat saat ini yang tidak ingin repot harus datang ke bank.
Menurut Forbes, Bank Digital adalah bank yang memberikan layanan secara daring atau online. Maka dari itu, ada tiga ciri bank digital yaitu memiliki aplikasi layanan digital, memberikan seluruh layanan keuangan dan perbankan melalui aplikasi digital, dan tidak memiliki kantor cabang. Hal ini sejalan dengan POJK Nomor 12/POJK.03/2018 tentang layanan bank digital yaitu layanan perbankan elektronik agar mampu melayani nasabah secara cepat, mudah dan sesuai dengan kebutuhan nasabah dengan memperhatikan aspek keamanan data nasabah.
Akan tetapi, konsep bank digital ini atau bank tanpa cabang sebenarnya sudah diinisiasi oleh Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 2004 dengan bekerjasama dengan PT Pos Indonesia. Sesuatu yang tidak lazim di dunia perbankan ketika nasabah hanya perlu datang ke kantor Pos untuk memiliki rekening bank. artinya kala itu, BMI telah mampu berfikir outside the box dalam menyiasati keterbatasannya layanan cabangnya yg hanya berada di kota-kota tertentu.
Bahkan BMI pada saat itu telah memiliki nasabah di pelosok timur Indonesia dimana hanya BMI bank Syariah yang memiliki nasabah hingga ke pelosok-pelosok negri. Hal ini dinilai wajar, karena hanya BMI waktu itu memiliki layanan gratis di 8.888 ATM seluruh Indonesia di 50 bank besar tanah air dan diterima lebih dari 18 ribu merchant. Dengan ide ini, BMI saat itu telah mampu merekrut lebih dari 800 ribu nasabah baru tumbuh lebih pesat dibandingkan bank Syariah lainnya.
Dengan ide cemerlang BMI saat itu, BMI dengan kata lain memiliki cabang lebih banyak dibandingkan bank Syariah lainnya. Karena PT Pos Indonesia kala itu memiliki 190 kantor cabang, 2932 online service dan 2932 service outlet yang tersebar diseluruh penjuru Indonesia.
Artinya BMI telah mampu melakukan efisiensi dalam memasarkan produknya ditambah lagi dengan konsep Dai Muamalat kala itu yang memasarkan produknya hingga ke masjid-masjid dan majlis taklim seluruh Indonesia. Maka dari itu, jika BMI dipegang oleh manajemen professional berpengalaman yang memiliki cara berfikir yang tidak lazim, maka tahun lalu kita masih akan melihat BMI bersaing ketat dengan Bank Syariah Mandiri tidak tertinggal jauh seperti saat sekarang ini.
Bahkan tidak hanya itu, kita akan melihat BMI tidak hanya ada di kantor Pos seluruh Indonesia, tapi ia juga akan ada di industri E-commerce yang ada saat ini seperti Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Blibli, Shopee bahkan di Alfamart dan Indomaret yang kantor cabangnya ada diseluruh pelosok Indonesia.
Jadi wajar pada masa itu, BMI banyak sekali mendapatkan penghargaan nasional maupun global bahkan CEO nya menjadi Best CEO 2008 yang ini selaras dengan laporan keuangan BMI dikala itu menunjukkan peningkatan keuntungan, asset, ROE dan NPF yang rendah bukan hanya gaya-gayaan dapat award akan tetapi tidak sesuai dengan fakta di laporan keuangan bank.