Sesi dua terkait arsitektur finansial internasional yang mempengaruhi tatanan struktur sistem keuangan dunia. Dody mengatakan, ini menjadi isu yang terus dibahas di setiap presidensi G20 karena sangat perlu penguatan.
Pada presidensi Indonesia kali ini, salah satu yang diangkat adalah cara memperkuat sisi keuangan dan tata kelola di International Monetary Fund (IMF). Ini karena IMF adalah pusat dari dari jaring pengaman keuangan internasional.
Maka penting bagi IMF untuk diperkuat permodalannya. Termasuk dari sisi tata kelola dan mekanisme voting masing-masing negara anggota. Selama ini negara maju punya hak voting lebih besar.
Upaya untuk lebih menyeimbangkan nilai voting dengan negara-negara emerging market ini biasanya sangat sulit mencapai titik temu. Misal dalam kondisi pandemi ini, negara maju memiliki alokasi Special Drawing Rights (SDR) yang lebih besar padahal negara berkembang jauh lebih membutuhkan.
SDR ini jadi salah satu sumber bantuan bagi negara miskin. Ada banyak rekomendasi juga agar negara maju menyumbangkan atau mengalokasikan SDRnya untuk negara miskin. Penerapan hal ini cukup kompleks karena penggunaannya harus melalui persetujuan parlemen.
"Indonesia juga termasuk diminta untuk menyerahkan sejumlah SDR kita ke negara yang lebih membutuhkan, tapi itu tentu setelah kita melihat kebutuhan kita sendiri," katanya.
Selain itu, mata uang digital bank sentral atau Central Bank Digital Currency (CBDC) juga masuk dalam topik prioritas. Tidak ada target tertentu dalam implementasi, namun diharapkan pembahasan CBDC bisa membuka tabir manfaat serta risiko di masa depan.
Sesi ketiga terkait dengan regulasi dan inklusi sektor finansial. Stabilitas sistem keuangan perlu tetap terjaga dan cara untuk keluar dari kebijakan-kebijakan extraordinary harus dilakukan pada waktu yang tepat.
Sementara inklusi keuangan sangat terkait dengan digitalisasi. Negara-negara G20 sepakat untuk lebih memperhatikan risiko digitalisasi yang terjadi saat ini. Pembahasan terkait diantaranya cyber security dan risiko dari kripto.
Dody mengatakan, banyak negara sepakat untuk tidak mengakui kripto sebagai mata uang. Penerapan dalam bentuk aset sebagai investasi juga sangat perlu memperhatikan aspek-aspek fundamental yang bisa berdampak secara sistemik.