Menurutnya kegiatan literasi yang dilakukan secara online dinilai memang dapat mendatangkan khalayak yang lebih luas dan banyak. Dia tetap harus membuktikan apakah dengan banyaknya khalayak yang mengikuti kegiatan literasi membuat mereka menjadi paham soal literasi keuangan.
Adapun kegiatan literasi secara offline pun masih tetap dilakukan. Sebab tidak semua wilayah di Indonesia dapat dijangkau secara online. Seperti wilayah 3T sebagai daerah yang tergolong dalam daerah tertinggal, terdepan dan tertular belum didukung infrastruktur yang mumpuni.
"Kalau ternyata ada juga daerah yang tidak bisa dijangkau secara online misal 3T, ini kan infrastrukturnya agak sulit. Jadi, kami menggunakan pendekatan offline. Kami datang kesana melakukan edukasi," ucapnya.
Tak hanya itu, kelompok rentan seperti anak jalanan dan kaum pedesaan dengan penghasilan rendah turut mendapatkan literasi keuangan. Mereka merupakan kelompok yang rentan mengalami goncangan ekonomi terutama kenaikan BBM saat ini.
"Ini juga karena mereka penerima bantuan, kan HP susah tidak punya. Jadi harus hadir ke sana, inilah penjabaran kenapa perlu strategi online dan offline," ucapnya.
Kedua, perkembangan infrastruktur membuat pihaknya mengembangkan beberapa materi terkait literasi, salah satunya buku tingkat yang diperuntukkan bagi PAUD sampai dengan perguruan tinggi. Adapun OJK baru mengembangkan Learning Management System (LMS) sekitar 10 modul, untuk mengetes terkait pemahaman di sektor jasa keuangan.
"Pengembangan infrastruktur, ada berupa buku dan digital, konten digital ada dan LMS," ucapnya.