Sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, PT Bank Syariah Indonesia (BSI) memiliki 'peran lebih' dalam merepresentasikan keselarasan keuangan syariah dengan keuangan berkelanjutan. Direktur Utama BSI, Hery Gunardi menekankan, komitmen BSI kuat dan jelas untuk menjalankan prinsip keuangan berkelanjutan.
Komitmen tersebut telah dijalankan melalui penyaluran pembiayaan dan operasional perusahaan. Dari sisi penyaluran pembiayaan keuangan berkelanjutan, BSI mencetak pertumbuhan positif.
Sejak September 2021 sampai September 2022, pembiayaan keuangan berkelanjutan Bank Syariah Indonesia tumbuh 14,65 persen menjadi Rp 51,03 triliun. Jumlah ini merepresentasikan 25,54 persen dari total pembiayaan BSI.
"Dengan target kami di akhir tahun 2022 yakni Rp 51,8 triliun dan pada 2025 porsinya tidak akan kurang dari 30 persen," katanya.
Pembiayaan keuangan berkelanjutan terdiri dari pembiayaan ramah lingkungan atau Green Financing dan pembiayaan UMKM. BSI telah menyalurkan pembiayaan ramah lingkungan sebesar Rp 9,1 triliun.
Satu paket dalam skema environment, social, dan (corporate) governance (ESG), pembiayaan untuk sektor UMKM BSI juga meningkat cukup besar, yakni 12,06 persen (yoy) menjadi Rp 41,84 triliun. Menurutnya, nilai ini sudah hampir mencapai target pada 2022, yakni Rp 44,8 triliun.
Sementara itu terdapat tiga kategori utama Green Financing yang disalurkan oleh BSI. Diantaranya Penyaluran pada Produk yang Dapat Mengurangi Penggunaan Sumber Daya dan Menghasilkan Lebih Sedikit Polusi atau Eco-Efficient yang porsinya mencapai 46,03 persen, Pengelolaan SDA Hayati dan Lahan Berkelanjutan sebesar 32,55 persen, serta Energi Terbarukan 12,93 persen.
BSI memotret pertumbuhan pembiayaan di tahun depan hingga tahun 2025 akan terus meningkat. Komitmen pada portofolio pembiayaan berkelanjutan terus dikaji oleh internal perusahaan serta akan menyesuaikan dengan Rencana Bisnis Bank & Corporate Plan BSI.
Assistant Secretary General Islamic Financial Services Board (IFSB), Rifki Ismal mengatakan ekonomi syariah sudah pasti termasuk dalam keuangan berkelanjutan. Artinya, yang terlarang dalam ekonomi syariah secara umum juga terlarang dalam standar keuangan berkelanjutan.
"Misal yang menyebabkan kerusakan lingkungan, itu syariah juga tidak boleh yang membawa kerusakan," katanya pada Republika.
Secara signifikan, cara keuangan syariah menjalankan bisnisnya secara tidak langsung telah menggunakan standarisasi //green//. Rifki mengatakan, IFSB saat ini juga sedang menggarap kajian dan panduan untuk penerapan keuangan berkelanjutan perbankan syariah.
Yang menjadi signifikan dan diantisipasi adalah praktik green washing. Rifki menjelaskan, green washing ini adalah proyek atau kegiatan yang seolah-olah green padahal tidak. Ini harus dikenali oleh perbankan syariah.
"Green washing adalah salah satu isu yang kita antisipasi, misal di proyeknya ternyata ada informasi tersembunyi, seolah-olah seperti proyek hijau, padahal itu tidak boleh dalam syariah karena semua harus transparan," katanya.
Panduan IFSB ini juga memiliki standar umum yang sudah ada sebelumnya dalam panduan-panduan laporan berkelanjutan. Ada banyak kesamaan standar di dalamnya dengan prinsip syariah sehingga tidak perlu perubahan, namun panduan khusus untuk keuangan syariah ini akan lebih melengkapi standar yang sudah ada.