EKBIS.CO, JAKARTA -- Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI) mengkritik pedas penerbitan Perpu Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022. PBHI menganggap dalih penerbitan aturan itu hanya akal-akalan Pemerintah saja.
PBHI menilai keadaan darurat negara yang menjadi dalih penerbitan Perpu itu tergolong tidak tepat, bahkan cenderung mengada-ngada. Perpu itu hadir dengan alasan kegentingan mendesak atas ancaman krisis ekonomi global dan kekosongan hukum sehingga diperlukan peraturan untuk mempermudah arus investasi.
"Membaca kondisi ekonomi yang buruk mustinya berkaca pada kinerja Pemerintahan Jokowi yang ambruk. Pembentukan Perpu No. 2/2022 dalam ihwal kegentingan memaksa tidak memenuhi Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD ‘45 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangannya, Senin (9/1/2023).
PBHI menyebut alasan kegentingan mendesak dalam Perpu No 2/2022 menghilangkan sejumlah HAM dalam hal pemerintahan dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pertama, terjadi pelanggaran hak partisipasi rakyat dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat (3) UUD 45, Pasal 43 Ayat (2) dan Pasal 44 UU No. 39/1999 tentang HAM), karena tidak dapat memberikan masukan dan usulan.
Kedua, tertutupnya ruang partisipasi masyarakat juga menyebabkan terlanggarnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi (Pasal 28E Ayat (3) UUD 45, Pasal 23 Ayat (2) No. 39/1999 tentang HAM), serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F UUD 45 dan Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang HAM).
"Ketiga, tujuan utama 'menyulap' ruang partisipasi bermakna adalah substansi Perpu No. 2/2022 sebagaimana Omnibus Law Ciptaker yang memperburuk kebijakan HAM di banyak aspek," ujar Julius.
Oleh karena itu, PBHI mendorong Ombudsman RI untuk memeriksa maladministrasi proses pembentukan Perpu No. 2/2022.
"Kemudian Komnas HAM RI juga bisa mendalami pelanggaran HAM akibat cacat formil Perpu dan substansi yang mengebiri HAM," ucap Julius.
Sebelumnya, UU Omnibus Law Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law Ciptaker) telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi akibat cacat formil berdasarkan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dengan mandat perbaikan dalam 2 tahun. Artinya, Pemerintah dilarang melakukan tindakan/membentuk kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Omnibus Law Ciptaker.
Pertimbangan Hakim Konstitusi pada halaman 412-414 menegaskan kecacatan formil terjadi akibat ketiadaan partisipasi masyarakat secara maksimal dan bermakna (meaningful participation) berbasis Asas Keterbukaan pada Pasal 5 Huruf (g) dan Pasal 96 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang merupakan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD Negara RI Tahun 1945. Lebih jauh, Pasal 22A UUD ’45 adalah pelaksanaan demokrasi deliberatif yang dimandatkan Sila ke-4 Pancasila.