asal 2 PMK tersebut menjelaskan eksportir wajib memasukkan dan menempatkan devisa berupa devisa hasil ekspor sumber daya alam dari sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan, ke dalam sistem keuangan Indonesia dengan rekening khusus. Rekening tersebut harus tercakup dalam Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
Umumnya, devisa hasil ekspor sumber daya alam digunakan untuk pembayaran bea keluar dan pungutan lain bidang ekspor, pinjaman, impor, keuntungan/dividen, serta keperluan lain dari penanam modal. Dalam pasal 4, apabila pembayaran tersebut dilakukan menggunakan escrow account atau rekening bersama, eksportir wajib membuka akun tersebut pada LPEI maupun bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
Dalam aturan berisi delapan halaman tersebut juga disebutkan bila eksportir sudah memiliki escrow account di luar negeri, mereka wajib memindahkan ke instrumen keuangan Indonesia, seperti LPEI. Jika nantinya berdasarkan hasil pengawasan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) eksportir tidak melakukan kewajiban tersebut, maka Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang akan melayangkan sanksi administratif.
Sanksi tersebut hanya akan dicabut jika eksportir telah melaksanakan penempatan devisa hasil ekspor sumber daya alam sesuai dengan aturan yang berlaku tersebut.
“Hasil pengawasan Bank Indonesia dan/atau OJK yang menunjukkan eksportir telah memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 menjadi dasar bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mencabut pengenaan sanksi administratif berupa Penangguhan Pelayanan Ekspor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan,” bunyi pasal 6 ayat (1).