EKBIS.CO, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, pemerintah lebih baik mengatur perdagangan daring melalui e-commerce maupun social commerce. Huda menilai langkah ini merupakan hal yang tepat ketimbang melarang.
"Yang harusnya dilakukan adalah mengatur social commerce ini agar bisa setara dengan e-commerce atau pedagang luring," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Senin (18/9/2023).
Dengan begitu, ucap Huda, akan menciptakan level playing field yang setara di antara pelaku usaha. Selain itu, lanjut Huda, pemerintah juga bisa melakukan proteksi produk lokal dengan memperketat produk impor dan pemberian disinsentif terhadap produk impor, serta insentif bagi produk lokal.
"Jadi jika sosial media dilarang untuk berjualan, itu memutus satu langkah UMKM bisa go digital dan sebuah langkah mundur dari pemerintah," lanjut Huda.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Huda menyebut empat platform yang sering digunakan UMKM untuk berjualan secara daring dengan urutan paling banyak digunakan yakni instant messenger, media sosial, e-commerce atau marketplace, dan website. Artinya, Huda menyampaikan, media sosial memegang peran penting dalam proses digitalisasi penjualan UMKM dengan urutan nomor dua terbanyak.
"Saya bisa artikan pula, urutan tersebut adalah step by step UMKM bisa go digital. Dimulai dengan penggunaan instant messenger seperti whatsapp dengan jangkauan terbatas, kemudian pindah ke media sosial seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan sebagainya," ucap Huda.
Huda menyampaikan para pelaku UMKM yang sudah melalui fase tersebut tentu bisa berkembang hingga ke ranah marketplace atau e-commerce, dan website pribadi.
Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia Bima Laga meminta pemerintah melibatkan asosiasi dalam menelurkan kebijakan yang mengatur perdagangan di media sosial. Bima menilai pemerintah sejatinya cukup lamban dalam merespons isu tersebut.
"Harus kita akui pemerintah selalu telat dalam hal apa pun. Bicara e-commerce kita baru punya PP nomor 80 tahun 2019, sedangkan e-commerce sudah ada dari 2009-2010," ujar Bima.
Bima menilai kehadiran social commerce merupakan hal yang tidak bisa dielakkan di era disrupsi digital. Bima menyebut hal yang lumrah jika banyak pelaku usaha ikut bermain di platform tersebut.
"Yang namanya pengusaha harus bisa melihat monentum. Sekarang lagi ramai di situ, pasti ingin juga ke situ. Makanya perlu ada peraturan yang nanti dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi," lanjut Bima.
Bima menyampaikan, Asosiasi E-Commerce Indonesia masih menunggu draf terakhir dari rencana peraturan pemerintah. Bima menyampaikan asosiasi siap memberikan masukan kepada pemerintah agar tercipta iklim usaha yang setara dan sehat.
"Sampai sekarang kita belum lihat draf terakhir. Saya kira uji publik itu sangat penting, jangan sampai nanti keluar terus riuh di masyarakat," kata Bima.