Membangun Rasane Vera
Rasane Vera dirintis Alan Efendhi (35 tahun) pada 2014 lalu. Saat itu, ia masih bekerja dalam bidang pengadaan proyek di daerah Priuk, Jakarta Utara. Lalu, dia pun pulang ke Gunung Kidul untuk bergelut di bidang pertanian.
“Terus saya ingin pulang kampung. Gak punya pengalaman usaha, gak punya keahlian tentang pertanian, tapi saya ingin bertani. Akhirnya saya memutuskan mencari komoditas yang sekiranya saya bisa mengerjakan itu,” ujar Alan saat ditemui Republika.co.id, Ahad (4/11/2023).
Salah satu komoditas pertanian yang ada dalam benaknya pada waktu adalah lidah buaya. Karena, menurut dia, tanaman aloe vera ini perawatannya sangat cocok untuk daerah Gunungkidul yang gersang serta tidak memerlukan skill yang mumpuni di dunia pertanian.
“Aloe vera itu juga gak perlu fungisida, gak perlu pestisida, minim hama pengganggu, panennya gak mengenal musim. Bahkan, setiap dua minggu sekali kita bisa panen. Itu keunggulannya kenapa saya bangun bisnis ini,” ujarnya.
Akhirnya, dia terus mencari banyak literasi tentang aloe vera, baik melalui buku maupun internet. Dia banyak belajar untuk menjadikan tanaman aloe vera ini bisa tumbuh subur serta mencari literasi cara membuat produk dari aloe vera.
“Saat itu saya masih di Jakarta. Setahun dua kali saya pulang kampung untuk melihat perkembangan dari aloe vera yang ditanam,” kata Alan.
Lalu, dia pun membeli sekitar 500 bibit lidah buaya dan mulai membagikan ke warga sekitar untuk turut menanam lidah buaya di dusunnya di Jeruklegi, Katongan, Nglipar, Gunungkidul.
Pada 2015, Alan akhirnya benar-benar memutuskan untuk bergelut di bisnis ini dan pulang ke kampung halamannya di Gunungkidul. Saat awal mengolah aloe vera, dia pun menemui tantangan. Komoditas pertanian aloe vera kala itu masih belum familiar di tengah masyarakat.
“Ketika kita benturkan dengan penanaman saja sudah banyak yang mengecilkan saat itu,” ujar Alan.
Namun, setelah Alan memberikan pemahaman bahwa aloe vera ini bisa dijadikan sebuah produk, akhirnya warga kampungnya pun mulai banyak yang menanam. Dia pun menjelaskan kepada masyarakat tentang nilai manfaat dari produk lidah buaya itu.
Dalam membuat produk dari lidah buaya ini bukanlah hal yang mudah. Pada awalnya, Alan juga mendapatkan banyak protes dari para penjual.
“Banyak perjuangannya karena dulu produk kita cuma awet tiga hari. Ketika nitip di toko oleh-oleh itu banyak yang return. Produk juga belum maksimal. Kita juga belum tahu cara higienitas produk. Itu banyak menanggung kerugian di setahun dua tahun pertama,” ujar Alan.
Kendati demikian, Alan tetap bertahan dan seiring berjalannya waktu kuantitas dan kualitas produknya terus meningkat, termasuk dari rasanya. Kepercayaan masyarakat pun mulai terbangun terhadap produk Rasane Vera.
“Lalu kita punya pasar, kita bangun relasi, kita membangun jejaring. Akhirnya lebih berkembang lagi,” kata founder Rasane Vera ini.