EKBIS.CO, JAKARTA -- Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Teten Masduki mengatakan akses pembiayaan kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia menjadi yang terendah di Asia.
"Di Asia kita ini baru sekitar 21 persen, bandingkan misalnya China, dan Jepang itu sudah 60 persen, Korea malah di atas 80 persen," kata Teten di Jakarta, Rabu (6/2/2024).
Ia menilai hal itu dikarenakan mekanisme pemberian kredit di Indonesia masih menggunakan sistem kolateral yang membutuhkan jaminan atau agunan untuk mendapatkan persetujuan dana.
Sedangkan rata-rata UMKM di tanah air tidak memiliki kemampuan atau kapabilitas untuk memberikan jaminan saat mengajukan kredit. Ia menilai hal tersebut yang menjadi penghambat bagi UMKM untuk mendapatkan pembiayaan.
Teten mengatakan pihaknya sedang mengembangkan sebuah ekosistem agar kekhawatiran bank soal non-performing loan (NPL) bisa teratasi. Salah satu solusi yang ditawarkan pihaknya yakni dengan mengusahakan untuk mengubah mekanisme pengajuan pinjaman dengan menggunakan sistem skor kredit (credit scoring) yang diukur melalui rekam jejak penjualan dari pelaku usaha mikro tersebut.
"Di 145 negara sudah menerapkan credit scoring, jadi bukan lagi agunan tapi track record digital mengenai kesehatan usahanya. Karena untuk apa ada agunan kalau usahanya macet," ujarnya.
Ia mengatakan, pelaku usaha di tanah air masih banyak memilih untuk mengajukan pinjaman ke koperasi simpan pinjam, hal ini dikarenakan akses pengajuan pembiayaan ke koperasi lebih mudah dibandingkan dengan bank.
"Koperasi simpan pinjam itu memberi akses kepada 4,29 persen masyarakat Indonesia, sedangkan bank sekitar 4,9 persen. Jadi tidak jauh beda, padahal bank asetnya 100 kali lipat daripada koperasi simpan pinjam," katanya.
Sementara itu Kemenkop UKM mencatat pada 2023, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional menyentuh angka 61 persen, sedangkan industri hanya menyumbang sebanyak 18 persen.
Selain itu pada 2024 Kemenkop UKM menargetkan sebanyak 30 juta UMKM memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).