Senin 01 Jul 2024 16:10 WIB

Impor Barang Israel ke Indonesia Melonjak, Pengamat Menduga yang Mengatur Singapura

Dalam konteks perdagangan Singapura penghubung antara Indonesia dengan Israel.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan ada lonjakan tajam impor dari Israel ke Indonesia hingga mencapai 340 persen pada periode Januari-April 2024.
Foto:

Apakah boikot cukup?

Banyak yang bertanya-tanya: Apakah boikot saja cukup untuk mempengaruhi perusahaan dan menghasilkan perubahan? Bagi mereka yang berharap boikot dapat membuat perbedaan, ada kabar baik.

Penelitian yang dilakukan oleh ilmuwan politik Harvard, Erica Chenoweth, menunjukkan hanya butuh sekitar 3,5 persen dari populasi dunia untuk mendorong perubahan politik. Ini menunjukkan bahwa meskipun suara-suara proaktif adalah minoritas, mereka tetap dapat membuat perubahan.

Sejarah dipenuhi dengan contoh boikot yang berhasil. Contohnya, pada tahun 1791 di Inggris, seruan untuk memboikot gula yang diproduksi oleh pedagang budak menyebabkan penurunan keuntungan dan mengubah opini publik terhadap perdagangan budak transatlantik, yang berakhir beberapa dekade kemudian.

Boikot anti-apartheid di Afrika Selatan juga efektif, mendorong pembeli internasional untuk “Melihat Labelnya.” Dikombinasikan dengan aktivisme internasional dan domestik yang lebih luas serta tekanan terhadap pemerintah Barat, boikot tersebut membantu mengakhiri rezim apartheid secara resmi pada tahun 1994.

Namun, ada catatan penting menurut Hilma. Meskipun boikot mungkin sedikit mengurangi keuntungan perusahaan dan ekonomi Israel, boikot juga dapat meningkatkan kesadaran politik. Untuk membuat dampak yang signifikan, boikot harus dikombinasikan dengan perubahan kebijakan pemerintah.

Sejumlah penyanyi seperti Taylor Swift hingga Beyonce menolak untuk tampil di Israel bahkan sebelum perang berlangsung, sebagian karena tekanan politik. Anggota band seperti Rage Against the Machine, Cypress Hill, dan System of a Down, telah lebih vokal, bergabung dengan ratusan artis lainnya yang berjanji untuk tidak tampil di Israel.

Dalam beberapa tahun terakhir, ada bentrokan antara aktivisme akar rumput dan pemerintah di Barat. Beberapa pemimpin Barat secara eksplisit mengecam BDS, dan beberapa sekutu utama Israel, termasuk Inggris dan AS, telah mengejar undang-undang untuk membatasi kegiatan boikot domestik terhadap ''negara sahabat'' yang jelas menghambat upaya untuk memboikot Israel.

Meskipun ini mungkin menjadi hambatan bagi gerakan boikot, keretakan yang lebih luas dalam dukungan Barat mulai muncul. Ada peningkatan tekanan hukum dan aktivisme atas penjualan senjata, yang merupakan pilar utama dukungan Barat untuk Israel. Tantangan hukum domestik telah terjadi di seluruh Eropa, termasuk baru-baru ini di Belanda, Denmark, Belgia, Spanyol, dan bahkan Inggris.

Dengan semakin memburuknya situasi di Gaza, tekanan dari kelompok hak asasi manusia dan kemanusiaan yang lebih luas telah mendorong para pemimpin untuk menyatakan keprihatinan atas tindakan Israel, meskipun hal ini belum terwujud dalam perubahan kebijakan yang signifikan.

"Jelaslah, tekanan kolektif diperlukan untuk mendorong perubahan politik, dan sejarah menunjukkan bahwa respons pemerintah diperlukan untuk menciptakan perubahan tersebut. Boikot mungkin memainkan peran penting dalam hal ini," kata Hilma.

photo
Partisipasi Generasi Z pada boikot produk Israel mencapai 50 persen. - (Tim Infografis)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement