Jumat 12 Jul 2024 18:53 WIB

Ekonom: Cuma Di Indonesia, Rasio Utang Negara Jadi Isu Politik Seksi

Kata kuncinya adalah upaya memacu pertumbuhan ekonomi.

Rep: Eva Rianti/ Red: Lida Puspaningtyas
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah.
Foto:

Sementara itu, Peneliti yang juga Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eisha Maghfiruha Rachbini menyampaikan ada kekhawatiran dalam upaya pembayaran utang ke depan karena makin tertekannya kondisi fiskal.

“Kita perlu bicara keberlanjutan fiskal ke depan, artinya ketika kita ambil utang saat ini, mampu enggak dibayar di masa yang akan datang? Jangan sampai ketika kita ambil utang sekarang dengan mau dimaksimalkan 50 persen, kan ada utang-utang baru nih, nanti sanggup enggak bayarnya? Ini akan menjadi beban ke depan,” kata Eisha saat dihubungi Republika, Jumat (12/7/2024).

Dia berpendapat, meskipun berdasarkan Undang-Undang ambang batas rasio utang negara adalah 60 persen dari PDB, namun semestinya tidak sampai dimaksimalkan. Hal itu melihat rasio utang negara saat ini yang bergerak di angka 38—39 persen. Sehingga jika dinaikkan hingga ke angka 50 persen, ruang fiskal jadi makin sempit.

Menurut catatan Indef hingga Mei 2024, Indonesia memiliki utang lebih dari Rp8.300 triliun. Adapun utang jatuh tempo pada 2025—2029 mencapai Rp3.749 triliun. Sementara itu, berbagai proyek ambisius ingin digulirkan, seperti program makan bergizi gratis dan melanjutkan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

“Kalau kita lihat saat ini mengenai pembayaran utang kita, tahun depan saja utang jatuh tempo masih tinggi, sedangkan dari sisi penerimaan kita masih stagnan segitu-gitu saja,” ujar dia.

Selain itu, Eisha melanjutkan penting pula untuk mempertimbangkan risiko-risiko ke depan mengenai pertumbuhan ekspor yang berpotensi turun dan penerimaan PPH badan yang terkontraksi.

“Perlu juga melihat risiko ke depan misalnya penurunan ekspor, penurunan penerimaan dari PPH badan karena kan sekarang situasi ekonommi masih tidak menentu dan ada perlambatan. Sudah kelihatan penerimaan dari perusahaan-perusahaan turun atau stagnan. Dari sisi penerimaan (APBN) juga masih belum meningkat,” terangnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement