Kamis 28 Nov 2024 16:02 WIB

Ketimbang PPN, Pemerintah Lebih Baik Tangani Pengemplang Pajak untuk Naikkan Penerimaan

Jika kenaikan PPN dipaksakan, pertumbuhan ekonomi akan terganggu.

Rep: Eva Rianti/ Red: Friska Yolandha
Pengunjung antre untuk berbelanja setelah dibukanya toko digital Scan and Go di CBD Ciledug, Tangerang, Banten, Rabu (8/3/2023). Pemerintah menunda kenaikan PPN 12 persen.
Foto:

Lantas, lanjut Nailul, pada akhirnya justru bisa berdampak pada penerimaan negara yang menurun karena permintaan yang lesu. “Dampak inilah yang membuat saya pribadi menolak kenaikan tarif PPN 12 persen,” ungkapnya. 

Tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen disebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Sementara tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen.

Sebelumnya diketahui, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah berencana untuk memundurkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang pada awalnya bakal diterapkan pada 1 Januari 2025.  

“Ya hampir pasti diundur,” kata Luhut di Jakarta, Rabu.

Menurut Luhut, penerapan kenaikan PPN yang diundur itu karena pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.

“PPN 12 persen sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah,” katanya.  

Luhut mengatakan, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantalan dalam penerapan PPN 12 persen, tidak akan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan.  

"Tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti,” katanya.  

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement