EKBIS.CO, JAKARTA -- Selama ini Bank Indonesia (BI) mengaku kesulitan untuk mengontrol dan memantau penyaluran kredit tanpa agunan (KTA). Hal ini tak lain karena sifat KTA yang multipurpose, yakni dengan limit tertentu, sepanjang bank yang menyalurkannya tak masuk dalam daftar hitam (blacklist) BI maka BI tak akan mempermasalahkan.
Menurut Ekonom Universitas Ma Chung Malang, Moch Doddy Arifianto, kendala yang dihadapi BI ini dapat diatasi dengan penerapan requarement basis data. Ia menilai ini merupakan cara paling manjur untuk mengontrol dan memantau KTA di Indonesia.
Namun, diakui Doddy, identifikasi melalui basis data ini membutuhkan biaya tak sedikit. Caranya adalah pemantauan debt service ratio (DSR), yaitu rasio antara cicilan utang dibagi dengan pendapatan nasabah.
"Artinya, jika selama ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan BI mengawasi kredit melalui bank, DSR akan mengawasi per nasabah langsung," terangnya. Karena itu, tambah dia, OJK dan BI harus mempunyai basis data nasabah dan calon debitur yang jumlahnya mencapai puluhan juta.
Sementara itu, sebagian bank mengaku besaran KTA yang disalurkannya hingga saat ini relatif kecil. Direktur Utama PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk, Maryono, misalnya, mengatakan besaran KTA BTN masih di bawah lima persen secara total di 2012.
Pinjaman KTA bisa digunakan nasabah untuk membeli rumah baru melalui skema KPR, atau membeli kendaraan baru melalui skema KKB. Artinya, KTA memang memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk mengelola keuangannya.
Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk, Parwati Surjaudaja, juga mengaku penyaluran KTA perusahaan relatif kecil dan tak terlalu meningkat. “KTA kami masih di bawah 0,5 persen dari total pinjaman,” ujarnya.