EKBIS.CO, DENPASAR--Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia menilai, pajak bumi dan bangunan (PBB) sudah lama mengundang kontroversi, karena petani menganggap sebagai "hantu" yang secara perlahan mematikan sektor pertanian.
"Hal itu karena PBB hampir setiap dua tahun nilainya dinaikkan, sesuai dengan perkembangan inflasi," kata Prof Windia yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan, kenaikan nilai PBB juga akibat dasar pengenaan pajak adalah lokasi sawah atau nilai jual objek pajak (NJOP). Tampaknya, inilah UU pajak yang paling diskriminatif, memihak investor, dan mematikan kaum tani.
"Padahal petani kini sudah berada dalam kondisi setengah-hidup," ujar mantan anggota DPR RI dengan melontarkan nada tanya, kenapa kaum tani dikenakan pajak atas dasar nilai asset-nya.
Padahal kaum pegawai negeri sipil (PNS), sektor sekunder dan tersier, justru dikenakan pajak atas dasar produktivitas dan pendapatannya.
"Kalau begini, percuma saja kaum birokrat berkaok-kaok untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian dan juga percuma saja ada UU No.41, tentang lahan pertanian yang berkelanjutan," katanya.
Windia menjelaskan, kenyataan di lapangan banyak petani terpaksa harus menjual sawahnya, karena tekanan pajak PBB yang mematikan.
"Dalam hal pajak PBB, saya pernah adu pendapat dengan mantan Mentan Prof Bungaran Saragih di Bank Indonesia. Dikatakan bahwa porsi pajak PBB dalam total biaya usahatani sangat kecil," katanya.
"Oleh karenanya, tidak ada pengaruh apa-apa terhadap proses usahatani. Lalu saya katakan bahwa tidak selamanya porsi pajak PBB sangat kecil seperti itu. Bahkan kalau di perkotaan, porsi pajak PBB hampir 1000 persen dari total biaya usahatani," ujarnya.
Namun di pedesaan bisa mencapai 10 persen, meskipun kecil namun petani harus punya uang kontan untuk membayar pajak tersebut. Padahal mereka nyaris tidak punya uang kontan, karena uangnya sudah habis untuk keperluan konsumsi.
Sementara itu, tagihan pajak PBB umumnya dilaksanakan pada waktu petani sedang melakukan pengolahan tanah. Akibatnya, mereka tidak bisa membayar pajak PBB tepat waktu, dan akhirnya kena denda.
Hutang petani menjadi semakin mematikan, sehingga petani menjadi orang yang seperempat -hidup. Mereka hampir ?mati suri? dan tinggal menunggu bunyi lonceng kematiannya.
Ciri kematiannya adalah, ketika mereka mulai memutuskan untuk menjual sawahnya. Dalam beberapa kasus terlihat bahwa petani yang menjual sawah, umumnya hanya menunggu waktu 25 tahun, untuk menjadikannnya sebagai buruh tani.
"Kalau mereka sudah sampai pada level buruh tani, maka keturunannya akan terus semakin miskin, kalau tidak ada langkah-langkah strategis untuk membantunya," ujar Prof Windia.