EKBIS.CO, JAKARTA -- Bank Indonesia menegaskan dukungannya terhadap upaya bank penerbit dan acquirer untuk memonitor, meminta klarifikasi, serta mengedukasi para merchant dan nasabah. BI mengharapkan setelah ditandatanganinya Nota Kesepahaman tersebut, Bank Penerbit dan acquirer dapat meminimalisasi praktik Gestun.
Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI), Darmadi menyatakan pihaknya mendukung inisiatif BI. Menurutnya, bisnis Gestun sudah dijadikan bisnis uang gampang sehingga merugikan bank karena pihak tertentu menikmati perbedaan suku bunga. Ketika orang melakukan Gestun bayar ke bank dan ada biaya dana (cost of fund), bank tidak bisa ngecash sama skali, sehingga menjadi permainan untuk mendapatkan uang secara gampang.
"Bisnis ini diharapkan tidak meracuni orang-orang bank juga agar tidak memberikan identitas merchant. Ini rentan menjadi tindak kejahatan dengan orang bank," ujarnya baru-baru ini.
Dia menambahkan, sekarang marak Gestun online menjadi seperti bisnis. Bahkan, ada pelatihan-pelatihan membuka bisnis Gestun. Hal itu jelas menabrak kebijakan BI yang menyatakan Gestun diperuntukkan sebagai alat pembayaran.
Dia menilai ukuran dari bisnis Gestun cukup besar dan diperkirakan setiap bank bervariasi. Ada bank yang mengklaim 30 persen atau 15 persen. "Uang itu diputar tanpa keringat dan bank harus membayar cost of fund. Sudah waktunya industri kompak untuk Gestun agar tidak boleh ada," imbuh Darmadi.
Sementara itu, General Manaer AKKI Steve Marta menambahkan, transaksi Gestun di luar negeri juga ada tapi jumlahnya kecil. Kalau di Indonesia nilainya semakin lama semakin besar. Tujuan Gestun sebagai alat pembayaran sekarang disalahgunakan. Nasabah yang diajarkan untuk menarik tunai di toko itu nasabah yang ada kebutuhan uang tunai. Nasabah itu seolah-olah diberikan solusi untuk menyelesaikan masalah ini.
"Nasabah-nasabah ini sebetulnya tidak akan ada untung. Mereka hanya menunda kesulitan. Begitu kartu kreditnya sudah sampai limit akhinya tidak bisa digunakan dan macet," kata Steve.