Secara terpisah, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan penguatan nilai tukar rupiah karena pengaruh dari global, terutama data ekonomi Amerika Serikat yang soft. Selain itu, penguataan rupiah juga dikarenakan pengaruh dari data fundamental makro ekonomi Indonesia yang membaik. Hal itu terlihat dari inflasi dan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) yang menuju ke arah lebih baik.
Mirza menambahkan menguatnya nilai tukar rupiah merupakan dampak dari paket kebijakan pemerintah bersama dengan Bank Indonesia. Stabilisasi nilai tukar rupiah diperkuat dengan intervensi di pasar forward yakni memperkuat pengelolaan supply dan demand valas di pasar forward. Kebijakan tersebut bertujuan mendorong transaksi forward jual valas atau rupiah dan memperjelas underlying forward beli valas atau rupiah.
Hal itu dilakukan dengan meningkatkan threshold forward jual yang wajib menggunakan underlying dari semula 1 juta dolar AS menjadi 5 juta dolar AS per transaksi per nasabah dan memperluas cakupan underlying khusus untuk forward jual, termasuk deposito valas di dalam negeri dan luar negeri. Perluasan definisi underlying yaitu memasukkan deposit valas sebagai underlying, termasuk deposit valas di luar negeri boleh jadi underlying untuk forward jual dan BI juga melakukan forward jual.
Selanjutnya, kebijakan dalam memberikan insentif pengurangan pajak bunga deposito kepada eksportir yang menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) di perbankan Indonesia juga berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah. "Sehingga yang pegang long dolar AS melakukan cut loss dan kami juga bantu dorong ke arah penguatan rupiah tersebut," jelas Mirza kepada wartawan.
Menurutnya, kondisi ekonomi global banyak sekali tergantung situasi di Amerika. Faktor the Fed sangat dominan dalam pergerakan kurs di emerging market termasuk kurs rupiah. "Sebaiknya the Fed memberikan kepastian, yaitu apakah naik dan kapan, atau tidak naik sampai kapan," tegasnya.