EKBIS.CO, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menilai langkah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan membatasi impor tekstil demi mendorong pertumbuhan industri tekstil dalam negeri sudah tepat. Namun, ia berpendapat kebijakan tersebut juga harus diimbangi dengan pengetahuan mendasar berkaitan dengan beragam jenis produk tekstil.
Maksudnya, kata dia menjelaskan, jangan sampai kebijakan larangan impor justru menghambat proses transaksi yang sudah dilakukan pengusaha terutama dengan pembeli luar negeri. Karena menurut Ade, seringkali misal para buyer di luar negeri, ingin bahan bakunya dari negara tertentu, seperti dari Korea Selatan, karena di Indonesia belum tersedia, sehingga terpaksa harus impor.
"Kebijakan itu memang sudah jalan dan menurut kami sudah on the track. Kebijakan yang mendukung peningkatan penyerapan tenaga kerja dan dukungan ke industri tentu kami dukung. Asalkan juga tentu tidak menjadi hambatan bagi industri. Untuk itu, pemerintah juga harus punya pengetahuan yang luas berkaitan dengan jenis ragam produk tekstil itu sendiri," ucap Ade dalam keterangannya, Rabu (17/5).
Saat ini, permintaan tekstil justru lebih banyak dari luar negeri. Dari dalam negeri, meski menjelang lebaran, belum ada lonjakan permintaan. Tak heran, dari sisi kinerja ekspor, juga tetap positif yakni naik dua persen pada Januari-Februari 2017 dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Di kuartal pertama tahun ini kalau ekspor dikurangi impor masih surplus 1,29 miliar dolar AS. "Pemerintah tentu harus membuat kebijakan yang benar-benar seiring sejalan dengan kepentingan mendukung industri dalam negeri. Kami mendukung kebijakan yang ujungnya berorientasi menambah tenaga kerja. Sebaliknya jangan sampai dibuat kebijakan yang kontraproduktif, alias justru berdampak ke pengurangan tenaga kerja," ucap Ade.
Ia berkata, peningkatan permintaan ekspor dari luar negeri karena dari sisi kualitas produk industri tekstil Indonesia sudah bisa bersaing dengan produk sejenis dari negara lain. Terutama negara-negara di kawasan Asean.
Dukungan kebijakan di dalam negeri seperti berkurangnya waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan, meningkatnya jumlah operator garmen hasil pendidikan vokasi, hingga insentif yang diberikan Kementerian Keuangan, jadi pemicu perbaikan kinerja ekspor industri tekstil. Perbaikan bongkar muat menjadikan proses ekspor lebih cepat.
Di sisi lain, keluarnya Amerika dari perjanjian Trans-Pacific Partnership juga bisa menjadi pendorong tambahan agar kinerja ekspor produk tekstil Indonesia ke Amerika makin meningkat. Pasalnya, produk Indonesia akan langsung memiliki daya saing yang sama dengan produk-produk sejenis dari Vietnam dan negara lain.
"Tentu kita berharap agar kinerha ekspor tekstil kita ke Amerika makin positif," ujar Ade.
Ade optimistis kinerja sektor tekstil tahun ini akan tetap tumbuh positif. Ia berharap, capaian positif industri di kuartal satu, juga harus dibantu pemerintah dengan menghadirkan berbagai kebijakan yang benar benar melindungi dan mendorong industri tekstil dalam negeri makin memiliki daya saing dan menjadi pemimpin pasar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, dari Januari Februari 2017 nilai ekspor garmen Indonesia 1,26 miliar dolar AS naik 6,5 persen dibanding periode sama tahun lalu. Sementara ekspor produk tekstil tertekan 2,5 persen menjadi 733 juta dolar AS di Januari-Februari tahun ini.
Sebelumnya, Dirjen Industri Kimia Tekstil dan Aneka (IKTA), Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, impor tekstil yang terus melonjak telah menghambat pertumbuhan industri dalam negeri sehingga harus segera dikendalikan. Impor yang melonjak hingga 300 persen terutama untuk kain, umumnya dilakukan kalangan importir produsen (IP). Kalau IP yang impor, produknya tidak bisa dipindahtangankan.