EKBIS.CO, JAKARTA-- Sepekan terakhir, pemberitaan seputar korban pinjaman online hangat diperbincangkan. Tak bisa dipungkiri, setelah situs telah diblokir oleh pemerintah justru para pelaku bisa membuat situs ataupun aplikasi baru.
Menurut Institute for Development of Economics and Finance (Indef) regulator industri keuangan yakni Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum memiliki pengawasan secara intensif. Bahkan, umumnya pengawasan dilakukan pada saat ada pelaporan dan jatuh korban.
"Akan lebih baik, upaya preventif dilakukan ketika muncul layanan digital baru. Sekarang sudah banyak ahli big data yang dapat menjangkau account baru yang menawarkan layanan fintech digital tersebut," ujar Direktur Ekskutid Indef Tauhid Ahmad ketika dihubungi Republika, Senin (29/7).
Menurutnya selama ini pemahaman mengenai literasi finansial tidak dipahami konsumen khususnya fintech P2P lending tentang resiko yang akan ditanggung, baik risiko gagal bayar, resiko keterbukaan data hingga resiko sosial dari keterlibatan sebagai konsumen fintech P2P lending tersebut.
"OJK hingga Bank Indonesiabelum banyak kita temukan. Dan pengawasan dari pihak-pihak di atas belum terlalu intensif," ucapnya.
Menurutnya OJK dan Bank Indonesia perlu koordinasi secara intensi. Bahkan, jika diperlukan melakukan 'operasi pasar' fintech ilegal setiap minggunya.
"Fintech illegal dengan bantuan teknologi dapat dilakukan dengan cepat, melalui pengecekan nomer registrasi Sederhanyanya apabila tidak ada nomer registrasi legal maka otomatis fintech illegal tersebut mudah terdeteksi," ungkapnya.
Sementara dari sisi masyarakat harus memiliki pengendalian atas konsumsi-konsumsi yang tidak diperlukan, sehingga ada 'rem' dari sisi kebutuhan mereka. Menurutnya salah satu 'ilusi' yang muncul dari fintech adalah bunga utang yang rendah seolah-olah masyarakat mampu membayarnya.
"Bunganya per bulannya jauh lebih tinggi dari bunga bank. Ilusi inilah yang harus diberikan penyadaran oleh mereka," ucapnya.