Sementara itu, Komisioner KPPU, Ukay Karyadi, mengatakan, kenaikan harga minyak sawit (CPO) yang merupakan bahan baku minyak goreng memang murni akibat hukum pasar. Sebab, terdapat kenaikan permintaan global terhadap CPO sehingga tidak terdapat indikasi kartel dalam harga CPO.
Adapun sinyal kartel terdapat pada level produk turunan khususnya minyak goreng. Indikasi sinyal itu juga terlihat dari data yang menunjukkan mayoritas pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh perusahaan besar yang terintegrasi dengan produsen CPO.
Meskipun, merk minyak goreng yang beredar di pasar sangat beragam, jika ditelusuri berasal dari perusahaan yang sama. Ukay mengatakan, sruktur industri minyak goreng menunjukkan adanya oligopoli.
"Bagi pelaku usaha (CPO) sebetulnya lebih untung untuk ekspor. Tapi di sisi lain, dia punya pabrik minyak goreng yang kalau tidak disuplai bisa berhenti. Jadi yang paling aman dia menyamakan atau menaikkan harga CPO yang dijual ke pabrik minyak gorengnya sendiri," kata Ukay.
Lebih lanjut, ia menjelaskan, dengan pola itu semestinya harga CPO untuk minyak goreng tidak serentak naik karena banyak perusahaan di Indonesia yang juga memiliki pangsa pasar besar. Di sisi lain, KPPU menilai saat ini pun tidak terdapat kenaikan biaya proses produksi.
"Ini bisa dimaknai sebagai sinyal kartel karena harga kompak naik, walaupun mereka (produsen) punya kebun sendiri-sendiri," ujarnya.