EKBIS.CO, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengusulkan pemberian insentif fiskal berupa pajak penjualan atas barang mewah ditanggung pemerintah (PPnBM DTP) untuk pembelian mobil yang diproduksi di dalam negeri. Langkah ini diambil untuk mengatasi stagnasi pasar mobil domestik yang berada di level 1 juta unit per tahun selama 10 tahun terakhir.
Insentif ini diyakini dapat mendongkrak penjualan mobil domestik dan pada akhirnya menggairahkan ekonomi nasional. Situasi serupa terjadi pada 2021 saat pemerintah mengucurkan insentif yang sama untuk membangkitkan pasar mobil yang sempat terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan data Kemenperin, saat program PPnBM DTP diberlakukan pada Maret-Desember 2021, penjualan mobil melonjak 113 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pada 2022, program tersebut berhasil meningkatkan penjualan selama Januari-Mei menjadi 95 ribu unit.
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan bahwa pertumbuhan industri alat angkut sangat dipengaruhi oleh sektor otomotif. Selama tahun 2023, penjualan domestik kendaraan roda dua mencapai 6,2 juta unit dengan ekspor sebesar 570 ribu unit, sedangkan kendaraan roda empat mencapai penjualan domestik sebesar 1 juta unit dengan ekspor sebesar 505 ribu unit untuk CBU dan 65 ribu unit untuk CKD.
“Industri otomotif merupakan salah satu sektor strategis yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Namun, dalam 10 tahun terakhir, penjualan domestik mobil di Indonesia masih cenderung bertahan pada angka 1 juta unit,” ujar Menperin dalam sambutan yang dibacakan Plt Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin Putu Juli Ardika pada diskusi Solusi Mengatasi Stagnasi Pasar Mobil di Jakarta, Rabu (10/7/2024).
Dalam diskusi tersebut hadir sebagai pembicara Putu Juli Ardika, Sekretaris Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara, dan pengamat otomotif LPEM UI Riyanto.
Menperin menjelaskan bahwa berdasarkan kajian akademisi dari LPEM UI, stagnasi penjualan mobil di Indonesia dipengaruhi oleh melemahnya daya beli masyarakat. Hal ini menyebabkan masyarakat beralih ke mobil bekas karena tidak mampu membeli mobil baru.
Untuk mengatasi hal tersebut, Menperin menyatakan bahwa diperlukan program untuk menstimulasi pembelian mobil baru di masyarakat. Pemberian stimulus harus tetap mengedepankan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon.
Menperin juga menyebut bahwa penjualan domestik dan produksi mobil di Indonesia mencapai nilai tertinggi pada 2013. Hal ini dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan per kapita Indonesia pada 2011-2013 serta peluncuran program kendaraan bermotor roda empat yang hemat energi dan harga terjangkau (KBH2).
“Terkait upaya peningkatan penjualan mobil baru saat ini, berkaca pada success story program sebelumnya, langkah yang dapat dilakukan adalah memberikan insentif fiskal berupa PPnBM DTP bagi kendaraan yang diproduksi di dalam negeri. Insentif tersebut diberikan kepada kendaraan dengan persyaratan lokal konten atau TKDN tertentu dan mengutamakan jenis-jenis kendaraan rendah emisi karbon,” tegas Menperin.
Selain itu, Menperin juga menyarankan dukungan terkait pengendalian suku bunga untuk memberikan trigger kepada masyarakat agar dapat membeli kendaraan roda empat baru. Pelonggaran suku bunga untuk pembelian mobil baru secara kredit dapat menjadi salah satu opsi untuk mengembalikan minat masyarakat untuk membeli mobil baru.
Lebih jauh lagi, untuk mengurangi dampak lingkungan serta meningkatkan tingkat keamanan penggunaan kendaraan, Menperin menyatakan bahwa pemerintah dapat memberlakukan pengaturan khusus terkait pembatasan usia pakai mobil di daerah tertentu. Dengan pengimplementasian upaya-upaya tersebut, diharapkan akan terjadi stimulasi yang dapat meningkatkan angka penjualan mobil baru di Indonesia.
Putu Juli Ardika mengatakan bahwa penjualan mobil domestik dalam beberapa tahun terakhir memang stagnan di level 1 juta unit. Namun, produksi mobil meningkat karena lonjakan ekspor. Pada 2023, ekspor mobil CBU mencapai 505 ribu unit, naik tajam dari 2013 yang sebanyak 171 ribu unit.
Kukuh Kumara menyatakan bahwa penjualan mobil domestik tertinggi sebesar 1,23 juta terjadi pada 2013. Hal ini ditopang oleh pertumbuhan ekonomi yang mendekati 6% serta program KBH2/LCGC. Setelah itu, pasar mobil tidak bergerak dari level 1 juta unit, bahkan sempat merosot ke 532 ribu unit pada 2020 akibat pandemi Covid-19.
Pasar mobil bangkit pada 2021 berkat insentif PPnBM, namun tren itu tidak berubah banyak memasuki 2022 hingga 2023, di mana penjualan mobil hanya mencapai 1 juta unit. Memasuki 2024, penjualan mobil domestik malah merosot. Per Mei 2024, penjualan mobil turun 21% menjadi 334 ribu unit, dipicu berbagai faktor, antara lain kenaikan suku bunga global, lonjakan NPL, dan pengetatan pemberian kredit dari perusahaan pembiayaan. Gaikindo kemungkinan merevisi target penjualan mobil 2024 sebanyak 1,1 juta unit, dengan mempertimbangkan sejumlah faktor penekan pasar.
“Salah satu faktor pemicu stagnasi pasar mobil adalah harga mobil baru yang tidak terjangkau oleh pendapatan per kapita masyarakat. Gap antara pendapatan rumah tangga dan harga mobil baru makin lebar,” kata Kukuh.
Riyanto menegaskan bahwa pasar mobil domestik rata-rata tumbuh 21,3 persen selama 2000-2013, didukung oleh kenaikan pendapatan per kapita sebesar 28,2 persen. Sementara itu, selama 2013-2022, pendapatan per kapita hanya naik 3,65 persen, sehingga pasar mobil turun rata-rata 1,64 persen per tahun.
Pada saat yang sama, harga mobil terus meningkat. Sebagai contoh, harga Avanza G pada 2013 mencapai Rp 160 juta, sedangkan pada 2023 mencapai Rp 255 juta. Dengan demikian, pertumbuhan pendapatan per kapita tidak bisa menjangkau harga mobil baru, bahkan selisihnya makin lebar dari tahun ke tahun.
Akibatnya, penjualan mobil bekas tumbuh subur menjadi 1,4 juta unit pada 2023 dari 2013 yang hanya 0,5 juta unit, seiring menurunnya daya beli konsumen dan lonjakan harga mobil baru. Artinya, penjualan mobil bekas tahun lalu lebih tinggi dari mobil baru yang hanya mencapai 1 juta unit.
Mobil bekas kini menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Pada 2023, sekitar 64 persen pembelian mobil di Jawa adalah mobil bekas, sementara penjualan mobil baru di Jawa dan Bali turun 33 persen pada 2022 dibandingkan 2013. Di luar Jawa, pembelian mobil bekas juga mendominasi, mencapai 56 persen dari total pembelian kendaraan tahun lalu.
“Mobil bekas bukan tujuan utama orang. Jika punya uang, mereka lebih memilih mobil baru. Tetapi, perbedaan harga antara mobil bekas dan mobil baru makin lebar. Harga mobil bekas juga terdepresiasi cukup tinggi, sehingga semakin diminati,” kata Riyanto.
Dampak Insentif Fiskal
Riyanto mengusulkan dua solusi untuk keluar dari jebakan pasar mobil 1 juta unit, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi nasional perlu ditingkatkan menjadi 6 persen per tahun melalui reindustrialisasi. Hal ini agar porsi sektor manufaktur terhadap PDB bisa mencapai 25-30 persen atau lebih, sehingga mendongkrak pendapatan per kapita kelompok upper middle naik ke kelas affluent.
Dalam jangka pendek, pemerintah perlu merilis stimulus fiskal agar kelompok upper middle yang hampir masuk kategori makmur (affluent) saat ini dapat membeli mobil baru. Bentuknya bisa berupa diskon PPnBM bagi kendaraan LCGC dan low MPV 4x2.
“Pada saat yang sama perlu dirancang program mobil murah atau penyegaran program KBH2 (LCGC),” kata Riyanto.
Diskon PPnBM akan mendongkrak penjualan mobil karena harga turun. Ini akan meningkatkan produksi mobil dan suku cadang, yang pada gilirannya meningkatkan PPN, PKB, dan BBNKB, serta PPh badan dan PPh orang pribadi.
Selain itu, kenaikan penjualan mobil juga mendongkrak ekonomi nasional melalui peningkatan PDB, tenaga kerja, dan investasi. Ini juga berujung pada peningkatan PPh badan dan PPh orang pribadi.
Menurut Riyanto, insentif PPnBM 0 persen untuk LCGC dan kendaraan 4x2 bisa menambah permintaan sebesar 16 persen, ekuivalen 160 ribu unit. Dengan demikian, penjualan mobil bisa mencapai 1,2 juta unit dibandingkan business as usual (BAU) sebanyak 1,067 juta unit.
Nilai penjualan mobil dengan insentif PPnBM 0 esen mencapai Rp 306 triliun dibandingkan BAU Rp 298 triliun. Insentif ini juga akan menambah tenaga kerja di sektor otomotif sebanyak 23.221 orang dan secara keseluruhan sebanyak 47.371 orang.