EKBIS.CO, JAKARTA -- Kebijakan pemerintah untuk menurunkan harga tiket pesawat demi meningkatkan daya beli masyarakat menjelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) menuai berbagai pandangan. Para ekonom memperingatkan dampak yang lebih luas terhadap sektor penerbangan dan perekonomian secara keseluruhan jika kebijakan tersebut diterapkan tanpa perencanaan matang.
Menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF M. Rizal Taufikurahman, penurunan harga tiket pesawat menjelang Nataru memang berpotensi mendorong konsumsi, tetapi dampaknya relatif kecil dibanding sektor lain seperti makanan dan minuman.
"Penurunan tiket ini tidak akan men-drive konsumsi jauh lebih baik. Konsumsi tiket pesawat lebih cenderung dinikmati oleh kelompok tertentu, seperti mereka yang belum pulang kampung," jelas Rizal dalam diskusi publik PPN 12 Persen, Solusi atau Beban Baru? yang diselenggarakan INDEF & Universitas Paramadina secara daring, Senin (2/12/2024).
Rizal juga menambahkan, masyarakat cenderung lebih rasional dalam mengelola pendapatannya, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi. Mereka lebih memprioritaskan kebutuhan pokok dibandingkan pengeluaran untuk perjalanan.
Sementara itu, Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Sarmin menyoroti dampak penurunan harga tiket pesawat terhadap stabilitas maskapai, terutama yang sudah menghadapi tekanan finansial.
“Jika harga tiket dipaksa turun sementara komponen biaya operasional seperti bahan bakar dan biaya bandara tetap tinggi, maskapai seperti Garuda Indonesia yang kondisinya sudah sulit akan semakin terbebani,” kata Wijayanto.
Ia memperingatkan intervensi semacam ini dapat menciptakan market disruption, di mana pasar kehilangan efisiensinya. Hal ini dapat memicu potensi kerugian jangka panjang yang lebih besar.
"Memaksakan penurunan harga tiket tanpa penyesuaian biaya dalam rantai pasok dapat menyebabkan dead weight loss yakni hilangnya efisiensi ekonomi secara keseluruhan," tambahnya.