Selasa 05 Mar 2019 19:19 WIB

Petani Tebu Curhat Soal Mafia Gula ke Jokowi

APTRI menduga pabrik gula baru disalahgunakan untuk impor gula rafinasi.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Teguh Firmansyah
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berdialog dengan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPP APTRI) saat pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Presiden Joko Widodo (kedua kanan) berdialog dengan Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPP APTRI) saat pertemuan di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/3/2019).

EKBIS.CO, JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) mendatangi Istana Merdeka pada Selasa (5/3) untuk memenuhi undangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kedatangan asosiasi tebu ke istana merupakan yang kedua kalinya sejak awal 2019 ini.

Pada awal Februari lalu, Presiden juga mengundang asosianya lainnya, yakni Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) ke istana untuk berdiskusi tentang tantangan industri gula Tanah Air.

Baca Juga

Ketua Dewan Pembina APTRI HM Arum Sabil menyebutkan, sejumlah poin disampaikan pihaknya kepada Presiden. Salah satunya adalah adanya indikasi penyalahgunaan izin pendirian pabrik gula baru. Seharusnya, pabrik gula baru didirikan untuk menyerap tebu dari petani rakyat.

Artinya, jelas Arum, penambahan pabrik harus diiringi penambahan luasan lahan pertanian tebu. Namun kenyataan di lapangan justru berbeda. Arum mencium adanya upaya pendirian pabrik gula baru hanya untuk melakukan impor gula mentah alias rafinasi. 

"Kami sampaikan Presiden, bahwa Presiden waspadai berdirinya pabrik-pabrik gula baru yang indikasinya hanya kedok untuk impor gula mentah," kata Arum, Selasa (5/3).

photo
Gula impor menyerbu pasar Indonesia

Ia menambahkan, pada prinsipnya petani tebu menyambut baik pendirian pabrik gula asalkan mereka menyerap tebu dari petani dan bermitra dengan petani tebu. Ironisnya, pendirian pabrik gula baru justru ditengarai dimanfaatkan mafia impor gula rafinasi untuk keuntungan sendiri tanpa memperhatikan petani.

"Bahkan saya sampaikan ke Presiden, mafia impor gula ini sudah masuk ke semua sendi. Bahkan fee-nya dan indikasinya berapa, sudah saya sampaikan ke Presiden," jelas Arum.

Ia menegaskan bahwa pabrik baru yang terindikasi hanya melakukan impor tersebut sudah berdiri saat ini. Meski tidak mau menyebutkan di mana pabrik tersebut, ia mengungkapkan, pabrik-pabrik tersebut telah mendapat izin impor hingga ratusan ribu ton gula mentah per tahun dengan alasan pemenuhan idle capacity.

"Tapi masa izin impor yang jumlahnya melampaui kapasitas terpasangnya," katanya.

APTRI mendesak pemerintah untuk memperketat syarat impor. Menurut Arum, impor gula rafinasi bisa saja dilakukan oleh pabrik-pabrik BUMN bekas milik pemerintah kolonial. Menurutnya, cara ini dianggap paling adil untuk menjaga ruang gerak mafia impor gula.

"Karena itu akan kembali ke negara dan rakyat. Karena pabrik gula ini harus didorong produktivitasnya dari tebu dalam negeri," katanya.

Kepala Staf Presiden Moeldoko menyebutkan bahwa Presiden Jokowi menerima seluruh masukan yang diberikan APTRI. Sejumlah langkah yang disiapkan, terutama adalah penentian HPP (Harga Patokan Petani) gula yang dianggap terlalu rendah. Pemerintah, ujar dia, ingin mencari titik harga yang mewakili kepentingan petani dan kebutuhan pemerintah untuk menjaga pasokan, alias impor.

"Bagaimana mencari keseimbangan kalau pun harus impor bukan mengorbankan petani kita," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement