Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyayangkan sikap pemerintah yang tidak terbuka soal impor beras. Padahal, praktik impor sama sekali bukan suatu "dosa" ketika volumenya disesuaikan dengan kebutuhan dan pasokan dalam negeri. "Ini karena dipolitisasi," kata dia.
Pemerintah, lanjut dia, seharusnya jujur dan transparan melihat data pangan termasuk beras. Dengan berpedoman pada data yang betul, impor beras tidak akan mendistorsi harga gabah petani. Ia pun masih menanti keseriusan pemerintah mengupayakan cadangan pangan terutama beras agar aman. Bukan dengan menjadikan beras sebagai alat pencitraan melainkan secara benar melakukan pengamanan stok beras nasional.
Lebih lanjut, Enny mengatakan, masyarakat sama sekali tak terlalu peduli apakah pemerintah mau impor beras atau tidak. Dengan catatan, keterjangkauan akan pangan bisa diperoleh secara mudah dan harganya tidak mahal. "Jangan juga ada atau tidak ada impor membuat harga gabah petani jatuh," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah harus sadar betul pentingnya melakukan penghitungan yang benar soal data pangan. Penghitungan meliputi, berapa banyak tingkat konsumsi, berapa yang diproduksi dan berapa yang digunakan untuk pasokan guna mengantisipasi bencana dan hal tak terduga.
Enny yakin pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk menghitung data pangan secara akurat. Beragam teknologi seperti pantauan satelit dan sumber daya manusia yang mumpuni memungkinkan pemerintah memeroleh data pangan yang valid secepatnya. "Kalau data benar, respon kebijakannya pasti tepat," katanya.
Masalahnya, pemerintah selama bertahun-tahun menyebut produksi beras surplus, meski harga beras di pasar pada momen tertentu melambung. Sikap tersebut membuat pemerintah merasa aman dan tidak melakukan peningkatan produktivitas secara serius. Ego sektoral juga harus segera disingkirkan ketika pemerintah mengurusi pangan. Sebab, menyelesaikan masalah pangan tak bisa hanya diurus satu kementerian saja.